Senin, 24 Februari 2014

Rebutan Jabatan Modin, Puluhan Warga Demo Kades


MALANG - Rebutan jabatan Modin atau perangkat desa yang biasanya mengurusi pernikahan atau kematian terjadi di Desa Krebet, Kecamatan Bululawang,Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kepala desa setempat dinilai otoriter, dalam memilih Modin. Tak terima puluhan warga demo Kades.

Puluhan warga mendatangi kantor Desa krebet pada Senin (24/2/2014). Mereka mendesak agar calon yang sudah dipilih oleh kepala desa Krebet, H Muhammad Said, dan mendapatkan Surat keputusan (SK) dibatalkan.

Alasan warga, pemilihan Modin yang diberikan kapada Muhammad Khusen, menggantikan Amiruddin  tidak melalui jalur demokratis. "Harus dibatalkan. Karena yang dipilih kepala desa tidak disukai warga," kata Abdul Karim, koordinator warga.

Pria yang juga menjabat Ketua BPD Desa Krebet itu menegaskan, kepala desa tidak bersikap otoriter dalam memilih penabatn desa. "Dalam pengangkatan Modin, harus ada rapat dengan BPD. Selama ini, BPD tidak dilibatkan. warga juga menolak dan tidak setuju pejabat baru itu," katanya.

Puluhan warga itu mendesak agar kepala desa membatalkan SK yang sudah dikeluarkan untuk pejabat Modin yang baru. warga meminya pemilihan modin itu dilakukan secara transparan dan atas persetujuan warga dan BPD. "Harus dilakukan secara demokratis. Kades jangan otoriter," tegasnya.

Sementara itu, menanggapi tuntuan warga tersebut HM Said langsung membatalkan SK yang dikeluarkannya. "Atas desakan warga saya membatalkan SK baru itu. Namun, saya berharap, jika nantinya dilakukan pemilihan lagi, warga harus rasional dan memilih sosok yang layak dan memiliki kemampuan sesuai dengan jabatannya," katanya.

Jumat, 07 Februari 2014

“Menelanjangi Agama Baru” dalam Televisi Indonesia



Oleh Yatimul Ainun 
 “Media massa telah berhasil menggantikan katedral atau gereja di masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa kini”
(Harold D Laswell)

“Telivisi adalah makanan surga dari Hollywood” begitu kata Quentin J Schultze, seorang guru besar Seni dan Ilmu Komunikasi dari Calvin College Amerika Serikat, lewat bukunya berjudul “Television: Manna from Hollywood” (1986). Menurutnya, Televisi dipandang telah menjelma lebih dari sekedar produk teknologi. Tetapi juga suatu bentuk budaya. Apa yang dikatakan Schultze  jelas tidak berlebihan jika melihat kondisi dan realitas televisi saat ini.
            Pengaruh atau efek dari tayangan televisi kepada pemirsa cukup besar dan bahkan cukup dasyat. Dari apa yang disampaikan Schultze tersebut, tak salah dan bahkan mulai terbukti saat ini, apa yang dikatakan Harold D Laswell, bahwa “Media massa telah berhasil menggantikan katedral atau gereja di masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa kini”.
Lebih keras lagi apa yang dikatakan G, Gerbner dan K Conaly (1978), bahwa televisi di zaman modern ini, benar-benar telah merampas hak-hak istimewa agama tradisional dalam membantu para penganutnya mendefinisikan realitas. Dari anggapan mereka, televisi telah menjadi “agama baru” di abad media.
Dengan bentuk karakter budaya visualnya, program yang ditayangkan, kehadiran televisi jelas telah membawa konsekuensi-konsekuensi budaya baru yang mendalam, menjadi ideologi baru pada pemikiran dan cara pandang anak muda masa kini. Tak hanya membawa informasi atau berita baru, kehidupan berwarna-warni, tapi juga membawa ideologi baru. Dari itu, maklum, jika banyak yang memuja dan sekaligus mengecam. Itulah realitas yang terjadi pada “kota ajaib” itu.
Sejak orde baru tumbang, kran kebebasan berekspresi, berpendapat dibuka lebar, semua orang berbondong-bondong antri, ingin memanfaatkan potensi televisi, baik sebagai media kampanye politik hingga promosi kegiatan keagamaan (berdakwah). Bahkan, tak hanya menanyangkan hal yang romantis, pornografi hingga pornoaksi serta aktivitas kekerasan ikut serta merebut untuk tampil.
Dari sedikit uraian latar belakang realitas televisi yang ada di negara kita Indonesia itu, penulis ingin mengajak “menelanjangi” bahwa di “kotak ajaib” itu, sudah tumbuh “agama baru”. Apa “Agama baru”-nya itu? Menelisik dari para pemikir Cultural Studiesi,  bahwa televisi sudah berhasil membangun “Kejayaan Citra”.
Sejak orde lama tumbang, berganti dengan orde baru, tembok kekuasaan begitu kokoh. Karena hanya TVRI yang bebar terbang memberikan informasi kepada khalayak. Televisi atau media lainnya dibelengggu tak bisa muncul dan tampil ke permukaan. Hanya TVRI yang boleh menjadi propaganda para penguasa. Baru setelah reformasi bangkit, gaya orde baru berhasil ‘tumbang’, kemerdekaan untuk media lainnya muncul dengan aneka ragam menu dan sajian.
Namun, dengan kemerdekaan itu, ada yang mencolok dan kebablasan. Jika masa orde abru lebih mengdepankan proses ideologisasi, kini televisi kita, bergeser pada proses televisi beroreintasi kapitalistik-pragmatis dan bahkan hedonis. Televisi yang awal munculnya bertujuan sebagai media proses pematangan ideologis menurut Idi Subandy Ibrahim (2011), kini sudah tergantikan dengan televisi hedonis. Hal ini yang menurut penulis, adalah “agama baru” dalam pertelevisian Indonesia.
Selain perilaku hedonis yang diperagakan dalam program gaya hidup, yang menentukan kelas menengah dan bawah, kaya dan miskin, modern dan tradisional, ada yang lebih membahayakan generasi selanjutnya. Yakni, menampilkan sosok artis atau figur yang sudah mencederai moral bangsa dan kehidupan. Televisi malah mencabut sanksi sosial demi masa keemasan generasi selanjut.
Saat sosok artis atau figur itu diketahui melakukan perbuatan amoral, melanggar etika dan hukum, menginjak kehormatan bangsa dan agama, televisi memburunya hingga ‘hangus’ masa depannya dan jeruji besi membelenggunya. Namun, saat bebas menghirup udara segar, jeruji besi tak lagi membelenggunya, televisi malah mengakuinya, mambastisnya dan mempublikasikannya, seakan tak pernah berdosa pada agama, negara serta publik yang pernah membesarkannya.
Bahkan, banyak televisi berebut untuk menyediakan program, bukan malah memberikan sanksi sosial. “Ya begitu kondisi televisi di Indonesia. Sosok artis atau figur yang sudah tidak layak dicontoh oleh generasi selanjutnya, malah kembali ditampilkan,” begitu kata seorang perempuan kelahiran Jepang, mantan dosen Universitas Brawijaya Malang, saat diskusi dengan penulis, soal kondisi pertevisian Indonesia saat ini.
Menurut perempuan kelahiran Jepang itu, di negaranya, jika sosok artis atau figur sudah pernah melakukan hal yang melanggar hukum negara atau agama, sudah tidak layak untuk mendapatkan program di sebuah televisi yang menjadi konsumsi publik. Menjadi proses edukasi dan ideologisasi khalayak. Hal itu adalah bentuk sanksi sosial. Dan sosok tersebut sudah tidak layak menjadi figur.
Masih segar di ingat kita kasus yang menimpa Nazriel Irham alias Ariel vokalis Peterpen, yang kini berubah nama menjadi grup musik ‘Noah’, setelah keluar dari penjara,  dalam kasus video porno, di vonis penjara tiga tahun enam bulan serta didenda Rp 250 juta oleh hakim di Pengadilan Negeri Bandung pada 31 Januari 2011 lalu. Kini Ariel kembali tampil lebih dahsyat, tanpa beban apapun. Semua media televisi malah memberikan ruang gerak bebas. Konstruksi televisi, tak lagi pada efek negatif positif. Sosok Ariel dinilai adalah aset yang bisa menghasilkan banyak uang.
Televisi tak lagi melihat bahwa Ariel divonis karena melanggar pasal 29 Undang-Undang tentang Pornografi. Tak peduli bahwa Ariel diketahui terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu penyebaran serta membuat dan menyediakan pornografi atau video porno. (TEMPO.co, edisi Senin, 31 Januari 2011, judul “Vonis Tiga Tahun Enam Bulan Buat Ariel”).
Seharusnya, konstruksi pihak televisi bahwa Ariel dan Luna serat Cut Tari, yang telah terbukti secara hukum melakukan tindakan mesum yang melanggar UU Pornografi, tidak layak menjadi figur. Sosok Ariel, jelas tidak mencerminkan manusia yang berpandangan bahwa manusia dapat bahagia jika menjadi manusia seutuhnya, atau yang disebut dengan teori perkembangan diri. Yaitu, manusia dapat merasakan nilai-nilai kebenaran, pengetahuan, sosial, tanggungjawab moral, dan religius. Karena, tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.
Contoh kasus Ariel dalam tulisan ini, hanya salah satu kejadian kecil. Karena masih banyak contoh televisi memunculkan atau mengangkat fenomena yang lemah nilai edukasinya. Tak ada proses ideologi pada pemirsa. Apalagi jika melihat perjalanan infotainmen yang ‘merusak’ tatanan jurnalisme. Yang seharusnya membuka fakta malah membua aib dan dusta.
Sementara, pendirian industri media media massa itu, tak akan berdiri kokoh jika tanpa adanya idealisme media. Karena idealisme media itu akan menjadi nafas dan identitas dalam kiprahnya. Idealisme media itu merupakan landasan dalam penyanyian berita atau proram apapun yang akan ditayangkan. Tidak hanya mengedepankan kepentingan kapitalistik, tapi juga proses ideologisasi untuk publik. Media tak hanya menjadi “pembunuh ideologi masyarakat”. Pesan penulis, kekuasaan media televisi, mesti dilawan dengan kekritisan audiens.
Terakhir, lebih rumit dan tidak konsisten, yang mendominasi pertelevisian Indonesia adalah kaidah-kaidah kesusilaan dan norma-norma kesopanan yang banyak diabaikan oleh stasiun televisi. Dalih televisi yang bersangkutan, hanya karena mengikuti keinginan pasar. Jika sudah dalam posisi demikian, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) semestinya sebagai regulatory body di bidang penyiaran harus memiliki syarat dan sanksi yang jelas. Tugas besar para ilmuan praktisi serta pakar media, serta pemerintah, adalah membongkar dan merombak “agama baru” berupa kapitalistik, pragmatis dan hedonis yang menjadi ideologi media saat ini. Demi generasi emas masa depan yang lebih cemerlang.(*)

Selasa, 04 Februari 2014

“Menghias” Partai Bulang Bintang Melalui Marketing Politik


Oleh: Yatimul Ainun
“Dalam kelam Indonesia Suram, jadilah Bulan Bintang. Bulan memberikan terang dalam kedamaian. Dia laksana hati yang bersih yang memancarkan cahaya Ilahi”. Begitu sedikit bait puisi dari penulis untuk Partai Bulan Bintang (PBB).

Beberapa pengamat politik dan politisi partai politik (parpol) terutama di era reformasi di Indonesia saat ini, sudah memperkenalkan teori pencitraan kepada publik untuk memperoleh suara pemilih dalam Pemilu. Teori pencitraan itu didukung kalangan khususnya teoritisi komunikasi politik dan umumnya ilmu politik meyakini penggunaan teori pencitraan terhadap Parpol dapat memiliki peran atau memberi kontribusi di dalam menentukan proses demokratisasi. Hal itu tak hanya diterapkan Partai Bulan Bintang. Tapi sudah dilakukan oleh semua partai peserta Pemilu.
Dalam perkembangannya, teori pencitraan diperkuat dengan kemunculan teori pemasaran politik (political marketing) didukung kalangan khususnya teoritisi manajemen pemasaran dan umumnya ilmu ekonomi. Pendukung teori pemasaran politik juga meyakini, penggunaan pemasaran politik memiliki kontribusi atau peran di dalam menentukan proses demokratisasi.
Melihat kondisi demikian, penulis diminta untuk menelisik perjalanan Partai Bulan Bintang untuk membangun pencitraan ke publik.  Karena, citra (image) itu adalah salah satu aset terpenting parpol. Citra parpol positif atau baik di mata publik bergantung pada pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik tentang parpol. Pada gilirannya dapat mendorong publik untuk mendukung dan memberikan suara kepada parpol tersebut dalam Pemilu.
Di Indonesia perkembangan politik kepartaian sejak Pemilu tahun 1990-an ditandai dengan kesadaran akan upaya kehumasan tampak tidak hanya terfokus pada kegiatan kampanye dengan metode orasi di tengah lapang, namun lebih pada komunikasi politik melalui berbagai media massa.
Teori pencitraan parpol pada umumnya menggunakan pendekatan pemasaran politik. Pemasaran politik (political marketing) adalah ilmu baru yang mencoba menggabungkan teori-teori marketing dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, pemasaran politik masih tergolong baru. Namun, telah menjadi popular dalam ranah politik di negara demokrasi industri maju.
Kini, parpol mulai berlomba-lomba memanfaatkan ilmu ini, untuk strategi kampanye baik untuk mendapatkan dukungan politik dalam Pemilu maupun memilihara citra sepanjang saat dalam jeda Pemilu. Sebelum banyak mengupas tentang proses pencitraan dalam marketing politik, penulis memulai bahasan ini dari sebuah sejarah singkat berdirinya Partai Bulan Bintang.
Ditelisik dari sejarah berdirinya, yang ditulis dalam websiten Partai Bulan Bintang (PBB), adalah sebuah partai politik di Indonesia yang berasaskan Islam. Partai tersebut berdiri pada 17 Juli 1998 di Jakarta dan dideklarasikan pada Jumat 26 Juli 1998 di halaman Masjid Al-Azhar, Kemayoran Baru Jakarta.
Sejak awal berdiri, Partai Bulan Bintang ini didukung oleh ormas-ormas Islam tingkat Nasional. Seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi dan Silaturahmi Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Forum Silaturahmi Ulama, Habaib dan Tokoh Masyarakat (FSUHTM), Persatuan Islam (PERSIS), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Umat Islam (PUI), Perti, Al-Irsyad, Komite untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Lembaga Hikmah, Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI).
Didukung juga oleh Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam (GPI), KB-PII, KB-GPI, Hidayatullah, Asyafiiyah, Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Badan Koordinasi Muballigh Indonesia (Bakomubin), Wanita Islam, Ikatan Keluarga Masjid Indonesia (IKMI), Ittihadul Mubalighin, Forum Antar Kampus dan Lembaga Penelitian Pengkajian Islam (LPPI).
Berbagai ormas tersebut bergabung di dalam Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) yang didirikan pada 12 Mei 1998. BKUI merupakan pelanjut dari Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) yang didirikan pada 1 Agustus 1989 oleh Pemimpin Partai Masyumi yaitu DR.H. Mohammad Natsir, Prof.DR.HM Rasyidi, KH Maskur, KH Rusli Abdul Wahid, KH Noer Ali, DR. Anwar Harjono, H Yunan Nasution, KH Hasan Basri dan banyak bberapa kiai lainnya.
Pada awal berdirinya PBB dipimpin oleh Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, tokoh reformasi yang menjadi arsitek berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden RI ketika reformasi bergulir dan juga sebagai tokoh yang mempelopori Amandemen Konstitusi Pasca reformasi ditengah tuntutan Federalisme dari berbagai tokoh reformasi ketika itu dan pernah pula menjadi Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara.
Sedangkan DR. H.MS. Kaban diangkat sebagai Sekretaris Jendral, tokoh HMI yang sangat disegani dan pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan yang juga dikenal tanpa kompromi dengan para cukong kayu dan perambah hutan Indonesia. Berikutnya MS Kaban dipilih sebagai Ketua Umum PBB pada 1 Mei 2005 dan Drs.H. Sahar L. Hasan  sebagai Sekjen.
Sejak Muktamar ke-3, April 2010, di Medan partai ini telah menetapkan kembali DR.H.MS Kaban sebagai Ketua Umum dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc. sebagai Ketua Majelis Syuro dan  BM Wibowo,SE., MM., mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Massa Islam Hidayatullah, sebagai Sekretaris Jenderal.
Partai Bulan Bintang sejak reformasi  telah menjadi peserta pemilu dan telah mengikuti Pemilu tahun 1999, 2004 dan Pemilu tahun 2009. Pada Pemilu tahun 1999, Partai Bulan Bintang mampu meraih 2.050.000 suara atau sekitar 2 persen dan meraih 13 kursi DPR RI. Sementara pada Pemilu 2004 memenangkan suara sebesar 2.970.487 pemilih (2,62 Persema) dan mendapatkan 11 kursi di DPR.
Dalam Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2009, PBB memeroleh suara sekitar 1,8 juta yang setara dengan 1,7 persen dan dengan system parliamentary threshold 2,5 persen sehingga berakibat hilangnya wakil PBB di DPR RI, meski di beberapa daerah pemilihan beberapa calon anggota DPR RI yang diajukan mendapatkan dukungan suara rakyat dan memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Anggota DPR RI.
Namun PBB masih memiliki sekitar 400 Anggota DPRD baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Adapun visi PBB adalah terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami. Misinya, untuk membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri berkepribadian tinggi, cerdas, berkeadilan, demokratis dan turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dari sejarah singkat Partai Bulang Bintang diatas, kini banyak pesan dan gerakan yang dilakukan PBB. Baik pesan melalui memasang benner, baliho dan iklan di banyak media, baik televisi, media cetak, radio dan media online. Pengaruh pesan yang disampaikan tersebut jelas akan banyak efek yang menguntungkan partai.
Dari analisis penulis, tentang pengaruh pesan yang disampaikan parpol melalui media masa memiliki nilai signifikan terhadap keputusan memilih masyarakat, meskipun ini memang bukan satu-satunya faktor. Parpol tidak hanya memanfaatkan jasa konsultan kehumasan, juga membuat media khusus untuk mengkomunikasikan visi, misi dan program parpol.  Selain itu, ada parpol mempunyai website sebagai kelengkapan instrumen kampanye. Semua informasi Parpol disajikan secara detil di website tersebut. Seperti apa yang dilakukan PBB, dengan membuat website, bulan-bintang.org.
Dalam teori pencitraan, parpol pada umumnya menggunakan pendekatan pemasaran politik. Pemasaran politik (political marketing) adalah ilmu baru yang mencoba menggabungkan teori-teori marketing dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, pemasaran politik masih tergolong baru, namun telah menjadi popular dalam ranah politik di negara demokrasi industri maju.
Konsep inti pemasaran adalah bagaimana transaksi diciptakan, difasilitasi dan dinilai. Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak, juga terjadi saat seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintahan lebih baik. Konsep pemasaran politik merupakan kegiatan memasyarakatkan ideologi politik, tokoh politik, perjuangan politik telah lama dipraktikkan di negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat.
Melalui logika pemasaran politik, kedekatan parpol dengan konstituen dan massa mengambang tetap terjaga setiap saat. Tercipta pendidikan politik masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek politik, bukan obyek politik sebagaimana disikapi pada saat kampanye Pemilu saja. Logika pemasaran politik menghindari keterputusan hubungan Parpol dan masyarakat konstituen.
Pendekatan pemasaran politik menggunakan teori-teori mengenai perilaku konsumen. Pendekatan ini digunakan karena saat menggunakan hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap parpol tertentu sama seperti perilaku konsumen mempertukarkan uang untuk membeli barang/jasa tertentu.
Pendekatan pemasaran politik memperkirakan, individu berperilaku berdasarkan keingingan untuk terikat dengan perilaku tersebut dan faktor apa saja mempengaruhi keinginan untuk memilih parpol. Penerapan pendekatan pemasaran memungkinkan parpol mengetahui apa secara siginifikan mempengaruhi keinginan untuk memilih parpol dan memasarkan parpol secara tepat demi mendapatkan suara pemilih.
Pendekatan pemasaran politik juga percaya, keinginan untuk memlih parpol signifikan dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap parpol dan norma subyektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap parpol signifikan karena orang mengidentifikasikan diri terhadap parpol, bukan terhadap pemimpin.
Bagi pendukung parpol, pendekatan pemasaran politik, ada sejumlah alasan mengapa penting menggunakan pemasaran politik bagi parpol. Pertama, politisi parpol percaya telah terjadi pergeseran paradigm pemilih dari paradigma ideologis menjadi paradigma pragmatis. Masyarakat cenderung melihat program kerja ditawarkan oleh parpol dibandingkan dengan alasan ideologis.
Hal ini terlihat dari fenomena semakin membesarnya persentase pemilih non-partisan dan juga masa mengambang. Pemilih non-partisan yakni kelompok pemilih tidak menjadi anggota atau mengikat diri secara ideologis dengan parpol tertentu. Di samping itu, adanya persaingan politik dan sistem multipartai dianut serta semakin kritis masyarakat dalam memilih parpol.
Parpol dituntut menjadi lebih kreatif dalam menganalisis permasalahan negara dan rakyat. Parpol paling bagus menyusun program kerja mempunyai peluang lebih besar memenangkan perolehan suara pemilih dalam Pemilu. Agar menganalisis permasalahan dan menyusun program kerja bagus, maka dilakukan polling dan berbagai kegiatan riset lain. Riset merupakan kebutuhan sangat penting untuk pemetaaan permasalahan, segmentasi pemilih dan pemetaan program kerja. Riset kuat dalam hal menyangkut aspirasi masyarakat. Kemampuan mengidentifikasikan permasalahan daerah untuk diketengahkan sebagai permasalahan kampanye di daerah tertentu. Hal itu cukup memungkinkan untuk parpol sebagai modal menumbuhkan citra sebagai organisasi politik peduli pada kebutuhan aktual di daerah.
Mislanya, apa yang dilakukan sosok calon presiden yang diusung PBB secara resmi, yakni Yusril Ihza Mahendra. Ia mendatangi Malang, untuk bertemu dengan ribuan buruh di sebuah pabrik rokok di Kepanjen, Kabupaten Malang. Seperti dikutip Liputan6.com, Yusril siap membela buruh jika dirinya terpilih menjadi Presiden pada 2014 mendatang. Gerakan Yusril adalah contoh gerakan pencitraan dan upaya mencari dukungan untuk dirinya dan partainya. Karena berdasarkan keputusan Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra telah ditetapkan sebagai calon presiden (capres). “Pemilu 2014 mendatang, akan menjadi kesempatan terakhir bagi saya,” kata Yusril.
Sementara, di Indonesia pemasaran politik, mulai dikenal tetapi belum meluas dalam ranah politik maupun kajian akademis. Kegiatan politik parpol disadari atau tidak parpol telah melakukan serangkaian kegatan ini sebagai missal pengumpulan massa (temu kader, tabligh akbar dan deklarasi), pawai di jalan-jalan, liputan media cetak (TV, Koran, Majalah, Radio, dll) atas kegiatan parpol sampai ke kunjungan wakil-wakil parpol ke komunitas konstituen maupun komunitas tertentu telah biasa dilakukan.
Intenstitas interaksi Parpol dan masyarakat sering hanya terjadi pada waktu menjelang Pemilu melalui pelaksanaan kampanye. Pada masa ini, parpol berlomba-lomba menawarkan produk politik berupa ideologi, gagasan, kebijakan dan rekan jejak. Masyarakat dijadikan seperti “pasar sesaat” atau “pasar kaget” untuk mendengar, melihat dan memilih produk mereka.
Di luar “pasar sesaat” ini, komunikasi politik parpol dengan masyarakat terputus. Akibatnya, Parpol tidak menjalankan fungsi pendidikan politik bagi masyarakat dan pada gilirannya kehilangan daya kritis untuk mengontrol parpol dan pemerintahan. Karena itu, parpol menggunakan pendekatan pemasaran politik hanya pada kampanye Pemilu semata. Padahal pendekatan pemasaran politik sendiri sesungguhnya menekankan pentingnya kinerja sebuah parpol selain kegiatan pemasaran atau pencitraan.
Setelah masa Pemilu berakhir, Parpol harus dapat memenuhi janji-janji atau produk politik sudah ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih.Pemilih atau masyarakat harus memperoleh kepuasan. Baik teori pencitraan dalam komunikasi politik maupun pendekatan pemasaran politik percaya, ada hubungan erat antara citra parpol dan perilaku pemilih.
Penciptaan dan pembentukan pencitraan positif parpol digarap dan dikelola sedemikian rupa baik sepanjang maupun pasca kampanye. Untuk menciptakan pengetahuan dan persepsi masyarakat. Hal ini diperlukan komunikasi politik. Dalam perkembangannya, teori pencitraan mendorong parpol untuk melakukan komunikasi politik melalui media massa.
Mengapa? Karena luas jangkauan jauh lebih luas ketimbang sarana-sarana komunikasi politik lain. Pesan dan informasi politik parpol lebih mudah menjangkau rumah-rumah pemilih dalam Pemilu melalui media massa ini ketimbang melalui komunikasi interpersonal dengan kader-kader Parpol pada strata masyarakat bawah umumnya di daerah perdesaan (rural areas).
Penggunaan media massa sangat penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik dalam Pemilu. Karena, dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi sentral dalam politik. Karenanya, media massa merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk kepentingan menyebarluaskan informasi, menjadi forum diskusi publik dan mengartikulasikan tuntutan masyarakat beragam.
Mengutip apa yang ditulis Adman Nursal (2004), dalam bukunya berjudul “Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR,DPD”. Bahwa berdasarkan catatan Wring (1996) aktivitas marketing-politik telah digunakan sejak Pemilu di Inggris pada tahun 1929. Ketika itu, Partai Konservatif menggunakan agen biro iklan (Holford-Bottomley Advertising Service) dalam membantu mendesain dan mendistribusikan poster.
Di Indonesia, sebenarnya marketing politik sudah lama berjalan di Indonesia, seperti di yang dilakukan pada zaman orde baru dulu, yang sudah banyak spanduk-spanduk berisi tentang ajakan bergabung untuk mengikuti tabligh akbar atau musyawarah daerah, yang diadakan partai politik produk orde baru.
Adapun tujuan ataupun misi terakhir yang akan dicapai political marketing adalah starategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih.  Serangkaian makna politis akan menjadi orientasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna politis inilah yang kemudian menjadi output penting political marketing yang menentukan, pihak yang mana yang akan dicoblos oleh pemilih.
Menurut Adman Nursal ada  sembilan elemen yang terpenting dalam polical marketing yang tidak boleh dilepaskan harus fokus dengan sembilan elemen tersebut. yakni positioning, targeting, policy, person, party, presentation, push marketing, pull marketing, pass marketing, dan polling.
Pertama, Positioning bergandengan dengan targeting. Yakni, tindakan untuk manancapkan citra tertentu kedalam benak para pemilih agar tawaran produk politik dari suatu kontestan yang memiliki posisi khas, yang jelas mencari jendela di dalam otak pemilih. Misalnya, dalam marketing politik adalah bagaimana Partai Bulan Bintang (PBB) menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa PBB adalah partai Islam yang lebih unggul dibandingkan dengan partai yang lain. Artinya membangun image dan citra di dalam otak para pemilih atau konstituen.
Dalam disiplin marketing, “menempatkan” seorang kandidat atau sebuah partai dalam pikiran para pemilih disebut positioning. Atau positioning sering kali juga diartikan tindakan untuk manancapkan citra tertentu kedalam benak para pemilih agar tawaran produk politik dari suatu kontestan  yang memiliki posisi khas, yang jelas mencari jendela di dalam otak pemilih.
Positioning yang efektif akan menunjukkan perbedaan nyata dan keunggulan sebuah kontestan di banding kan dengan kontestan pesaing: bahwa pesaing tidak dapat mewujudkan tawaran-tawaran tertentu sebaik pihak yang mancanangkan positioning tersebut.
Positioning dan targeting sebagai penetapan segmen pasar yang akan di raih. Semua aktifitas untuk menanamkan kesan di benak para konsumen agar mereka bisa membedakan produk dan jasa dihasilkan oleh organisasi bersangkutan.
Kedua, adalah Policy yang berhubungan dengan “program kerja” yang ditawarkan para konstestan ketika terpilih kelak, menawarkan solusi terhadap permasalahan kebangsaan, memunculkan isu-isu yang diangap penting dan dapat diterima oleh konstituen, program kerja yang dapat diterima, yang menarik, mudah terserap oleh para pemilih.
Di banyak benner atau baliho yang disebar PBB, memunculkan slogan “Selalu ada Solusi” dan selalu terdapat foto soso Yusril Ihza Mahendra, sosok paling diandalkan dan memiliki pemikiran mampu memberikan solusi jika ada persoalan yang dihadapi masyarakat. Terutama soal pembelaan hukum.
Secara ideal, policy yang dijabarkan dalam program kerja yang merupakan “jualan” utama kontestan pemilu. Pandangan ideal inilah agaknya yang menyebabkan sebagian politisi mengandalkan keunggulan policy dalam kampanye-kampanye tertentu. Tetapi sayangnya, keunggulan policy saja ternyata tidak sepenuhnya mampu mendongkrak perolehan suara. Sejumlah politisi dari beberapa Partai peserta pemilu 1998 dengan tawaran policy yang canggih, dan sebenarnya merupakan solusi dari masalah kebangsaan gagal memperoleh kursi. Termasuk yang terjadi pada Partai Bulan Bintang.
Elemen ketiga adalah Person. Kandidat legislatif atau eksekutif yang akan dipilih dalam pemilu, kualitas person dapat dilihat melalui tiga dimensi yaitu kualitas instrumental, dimensi simbiolis,  dan fenotipe optis, ketiga dimensi ini dikelola agar atributable. Secara umum dalam political marketing, kualitas dari seorang figur dapat dilihat dari tiga dimensi: kualitas instrumental, faktor simbolis, dan fenotipe optis. (Firmanzah, 2007:159).
Kualitas instrumental adalah kompetensi fungsional. Kompetensi manajerial berkaitan dengan kemampuan menyusun rencana, pengorganisasian, pengendalian, dan pemecahan masalah untuk mencapai sasaran obyektif. Sementara kompetensi fungsional adalah keahlian dalam bidang-bidang tertentu yang diangap penting dalam menjalankan tugas teknologi dan sebagainya. Kualitas instrumental merupakan sebuah keahlian dasar yang dimiliki kandidat agar sukses menjalankan tugasnya.
Keempat, adalah Party. Produk politik partai, yang mempunyai identitas utama, aset reputasi, dan identitas estites, ketiga hal tersebut akan dipertimbangkan oleh para pemilih dalam menetapkan pilihanya. Dari perspektif manajemen operasional, party merupakan sebuah mesin politik dengan aneka kegiatan politik, tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperoleh kekuasaan atau ikut mengendalikan kekuasaan.
Untuk memperoleh dan mengadalikan kekuasaan, Partai berusaha berebut simpati para pemilih dengan menawarkan policy dan person yang diharapkan sesuai dengan aspirasi pemilih. Dengan demikian Partai juga dapat disebut sebagai organisasi yang menghasilkan produk- produk politik.  (Harris P, 2008: 209). PBB, ada sosok Yusril dan ia tergolong bersih dari perilaku korup. Sosok tegas dan memiliki kemampuan kenegaraan yang cukup luar bisa. Sosok Yusril yang bisa “dijual” oleh PBB.
Elemen kelima adalah Presentation. Bagaimana membungkus dengan baik ketiga elemen diatas (produk, person, party) ini disajikan dengan bungkusan semenarik mungkin, presentasi sangat penting karena dapat mempengaruhi makna politis yang membentuk dalam pemikiran para pemilih. Presentation disajikan dengan medium presentasi secara umum dapat di kelompokkan menjadi objek fisik, orang dan event.
Elemen keenam; push markekting adalah penyampain produk politik secara langsung kepada para pemilih, produk politik disampaikan kepada pasar politik yang meliputi media massa dan influencer group sebagai pasar perantara, dan para pemilih sebagai pasar tujuan akhir. Pendekatan push marketing pada dasarnya adalah usaha agar produk politik dapat menyentuh para pemilih secara langsung atau dengan cara yang lebih customized (personal).
Selanjutnya adalah elemen ketujuh: Pull markting adalah penyampaian produk politik yang dimanfaatkan atau disampaikan melalui media massa. Seperti memasang iklan dan sejenisnya di banyak media cetak dan elektronik, radio serta media online.
Elemen kedelapan; pass marketing adalah penyampaian produk politik kepada kelompok yang berpengaruh (influencer group). PBB terlihat sudah mengajak para tokok sentral di beberapa daerah dan bahkan menjadikan sosok tersebut sebagai calon legislatif. Baik dilevel kabupaten/kota, provinsi hingga pusat.
Elemen kesembilan dari marketing politik adalah Polling dan survai adalah penting dijalankan dalam strategi marketing politik tujuannya adalah untuk melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, supaya kita tahu sampai dimana iklan kita di terima oleh para pemilih, apa yang harus disampaikan, dan apa yang harus diubah dan apa yang harus diteruskan. Polling, riset, survei tidak bisa di pungkiri sangat penting dalam proses marketing politik.
Secara lebih spesifik dan terkait dengan produk politik dalam marketing politik yaitu: kandidat, partai, dan kebijakan, dibutuhkan sinergi strategi yang optimal, penggunaannya dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan produk politiknya. Dalam produk kandidat yang diusung PBB misalnya, strategi push dibutuhkan untuk memperkecil jarak antara kandidat dengan calon pemilih; strategi pull digunakan untuk membentuk kesadaran dan pengenalan publik terhadap kandidat sekaligus program-program yang diajukannya. Sementara strategi pass digunakan untuk memperoleh dukungan dari tokoh masyarakat untuk mobilisasi massa.
Dari bberapa ulasan diatas, terkait upaya yang dilakukan PBB, dalam membangun citra partai dilihat dari marketing politik yang dilakukan, banyak melakukan yang berdampak pada penilaian sosial, yang hal itu dipengaruhi bagaimana seorang individu memahami pesan yang ditangkap oleh inderanya dan akhirnya membentuk perilaku.
Produk yang dipasarka oleh PBB, adalah penyebaran pesan dalam berbagai cara pendekatan untuk mencari dan memperoleh dukungan politik. Hal itu bisa dilihat dari upayanya, pertama, dalam hal Push Marketing, dimana kandidat atau partai politik berusaha mendapatkan dukungan melalui stimulan yang diberikan secara langsung kepada pemilih. Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden yang diusung PBB, sudah mulai turun mendekati rakyat ke berbagai daerah di Indonesia.
Sudah melakukan Pass Marketing. Yakni, memasarkan produk politik melalui orang atau kelompok berpengaruh yang mampu mempengaruhi opini pemilih. Yusril mendatangi banyak tokoh berpengaruh seperti kiai dan mengisi acara di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Menjebarkan konsepnya jika terpilih jadi presiden nantinya.
Selanjutnya adalah melakukan Pull Marketing. Dimana pemasaran produk politik melalui media massa yang menitikberatkan pada image atau citra produk politik tersebut. Menyebarkan benner dimana-mana bersama para calon legislatif yang diusungnya dan banyak memasang iklan di banyak media. Baik cetak maupun elektronik. Hal itu yang dilakukan oleh Partai Bulan Bintang, jelang pemilu 2014 mendatang.(*)

Daftar Pustaka

Harahap, Effendi Muchtar. (2013). Politik Kepartaian Era Reformasi: Peran Ideologi, Koalisi dan Dana Ilegal. Jakarta. NSEAS & IEPSH in Processing.
Nursal Adman. (2004). Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR,DPD. Jakarta: PT Gramedia.
http://news.liputan6.com/read/764674/diusung-pbb-sebagai-capres-yusril-ini-kesempatan-terakhir
http://news.liputan6.com/read/764580/jadi-capres-pbb-yusril-langsung-serang-jokowi/?related=pbr&channel=n
http://news.liputan6.com/read/754203/pbb-yusril-ihza-jadi-capres-jika-lolos-ambang-batas-pileg-2014
http://sejarah-singkat-partai-bulan-bintang.

Citra Partai Berlogo Mercy Tak Lagi “Bergengsi”



Oleh: Yatimul Ainun

Pendahuluan
CITRA partai berlogo Mercedes-Benz (Mercy), alias Partai Demokrat (PD), kini tak lagi “bergengsi” dan menarik hati rakyat Indonesia. Hal itu diakibatkan Hal setelah melihat hasil survei yang rilis oleh dua lembaga survei di Indonesia. Diantaranya, hasil survei Pol-Tracking Institute, pada Kamis 19 Desember 2013 lalu di Jakarta, dan hasil survei Reform Institute pada Rabu 18 Desember 2013 di Jakarta.
Tak hanya hasil survie yang membuat citra Partai Demokrat “terjun bebas”, kepercayaan masyarakat menurun drastis. Namun, banyak faktor yang menghantuinya. Kasus korupsi yang menimpa petinggi partai dan kasus tersebut menjadi menu seksi semua media lokal maupun nasional, juga salah satu akibat dari jebloknya kredibilitasdan citra Partai Demokrat. Selain itu, Manajemen komunikasi politik yang dibangun, sering tak sesuai dengan harapan rakyat.
Padahal peran media, untuk membangun citra partai sangat penting dan dominan. Pemberitaan negatif soal kasus politisi dari Partai Demokrat yang terus menerus menjadi topik utama media baik cetak lebih-lebih media elektronik, akan membuat image Partai Demokrat tak lagi diminati rakyat.
Komitmen dan menjaga krdibilitas partai begitu snagat penting. Misalnya, rakyat sudah mengetahui bagaimana Partai Demokrat memasang iklan di banyak media televisi, bahwa Partai Demokrat tolak korupsi dan siap memberantas korupsi. Namun, apa yang terjadi malah sebaliknya. Hampir semua yang “mejeng” dalam iklan Partai Demokrat anti korupsi itu, malah terseret kasus koruspi. Mulai dari Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, Andi Mallaranggeng, Nazaruddin, dan Angelina Sondakh. Keempat politisi dan petinggi Partai Demokrat  itu, kini sudah mendekam di tahanan.
Saat ada iklan tersebut, masyarakat sudah semakin yakin bahwa partai pemenang Pemilu itu serius dalam pemberantasa koruspi. Menjadi partai idola berbasis modern. Namun, setelah muncul dan terkuak kasus korupsi proyek Hambalang, mayoritas masyarakat langsung memvonis, bahwa Partai Demokrat itu hanya “omong kosong” saja. Mengatakan partai anti korupsi, malah menjadi “dalang” dan lumbung korupsi.
Selain itu, kepercayaan yang kini mulai memuncak adalah kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang diusung dari Partai Demokrat. Kinerjanya mengusung kepentingan rakyat, terutama pemberdayaan masyarakat miskin, nilai banyak kalangan masih cukup minim. Tak sedikit janji-janji sebelum menjabat Prsiden tak banyak dipenuhi. Terutama soal kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Harga kebutuhan makanan pokok dinilai malah melambung tinggi. Yang dinilai cukup menyengsarakan rakyat kecil.

Pembahasan
SALAH satu pemicu “kehancuran” kepercayaan dan citra Partai Demokrat adalah hasil survie. Menurut Direktur Pol-Tracking Institute Hanta Yudha AR, yang ditulis KOMPAS.com Kamis 19 Desember 2013, bahwa suara Partai Demokrat pada Pemilu legislatif (Pileg) 2014, diprediksi akan turun drastis dibanding Pileg 2009 lalu. Hal tersebut disebabkan karena beberapa kasus korupsi yang menimpa partai berkuasa itu.
Dari survei Pol-Tracking Institute itu, Partai Demokrat hanya berada di posisi ketiga dengan perolehan angka sebesar 8,80 persen. Sedangkan urutan pertama dan kedua ditempati oleh PDI-P, yang meraih 18,50 persen dan Partai Golkar meraih 16,90 persen. Padahal, pada Pemilu 2009 lalu, Partai Demokrat “idola” rakyat Indonesia. Hal itu terbukti setelah menjadi pemenang Pemilu dengan memperoleh suara sebanyak 20,8 persen.
Adapun survei yang dilakukan Pol-Tracking Institute tersebut memakai metode wawancara tatap muka dengann menggunakan kuesioner. Jumlah sampel adalah 2.010 warga dari semua provinsi di Indonesia yang telah berusia 17 tahun dan bukan anggota TNI/Polri. Survei yang dilakukan Pol-Tracking Institute itu menurut Hanta Yudha AR, dilakukan dengan margin of error hanya 2,19 persen. Adapun tingkat kepecayaannya mencapai 95 persen. Survei tersebut dilaksanakan pada rentang waktu 13 September 2013 hingga 11 Oktober 2013.
Akibat kasus korupsi melilit Partai Demokrat itu yang menjadi pertimbangan masyarakat tak tertarik untuk kembali memilih pada Pemilu 2014 mendatang. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, kini sudah ditetapkan jadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain Anas, Andi Mallaranggeng dan Anggelina Sondakh juga sudah diseret KPK untuk menghuni ruang tahanan.
Sementara hasil survei nasional yang diadakan Reform Institute juga menunjukkan bahwa elektabilitas Partai Demokrat turun ke peringkat keempat di bawah Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, dan Partai Gerindra. Menurut Koordinator tim peneliti Reform Institute, Yudi Latif, di Jakarta, Rabu 18 Desember 2013, bahwa elektabilitas Partai Demokrat dilampaui oleh Partai Gerindra. Turunnya elektabilitas Partai Demokrat itu, utamanya disebabkan oleh buruknya kinerja pemerintahan periode II Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari Partai Demokrat.
Selain itu, juga akibat kasus-kasus korupsi yang menimpa para kader Partai Demokrat. Survei nasional itu, dilakukan selama tiga pekan dari tanggal 4 sampai 25 November 2013. Metode pengambilan data dilakukan melalui wawancara tatap muka terhadap 1.500 responden. Responden laki-laki dan perempuan diambil secara proporsional dan disesuaikan dengan jumlah penduduk.
Dalam survei itu, penyebaran sampel dilakukan secara proporsional dengan jumlah penduduk per provinsi. Sementara itu, di dalam provinsi, survei itu menggunakan metode multistage random sampling. Survei tersebut memiliki tingkat kepercayaan hingga 95 persen dan margin of error 2,53.
Diakui atau tidak, kebenaran dan akurasi dua hasil survei tersebut oleh pengurus Partai Demokrat, tak bisa dipungkiri, secara logika kasus korupsi yang melilit Partai Demokrat menjadi pertimbangan dan penyebab tidak sukanya masyarakat untuk memilih Partai Demokrat pada Pemilu 2014 mendatang. Hasil polling atau survei yang dilakukan dua lembaga survei itu, jelas membuat citra Partai Demokrat akan semakin buruk dan kepercayaan masyarakat akan menurun. Dengan sendirinya Partai Demokrat tidak disukai oleh masyarakat.
Karenanya, berbagai upaya untuk membangun citra di mata rakyat terus dilakukan. Misalnya, memasang bendera partai dibeberapa sudut kota hingga kepedesaan ataupun melalui iklan. Membangun citra melalui iklan, sedikit banyak akan mempengaruhi terhadap citra partai.
Mengapa dengan memasang iklan? Menurut Rachmat Kriyantono (2012:199), iklan adalah bentuk komunikasi nonpersonal yang menjual pesan-pesan persuasif dari sponsor yang jelas untuk mempengaruhi orang bagaimana bisa membeli produk. Misalnya, dalam hal ini adalah iklan yang dipasang oleh Partai Demokrat, jelas bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat bagaimana tetap mempercayai dan memilih Partai Demokrat pada Pemilu 2014 mendatang.
Menelisik soal citra, G. Sachs dalam karyanya The Extent and intention of PR/ Information Activities yang dikutip oleh Onong Uchjana Efendy (2006:166), Citra adalah pengetahuan mengenai kita dan sikap-sikap terhadap kita yang mempunyai kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda. Adapun landasan citra berakar dari nilai-nilai kepercayaan yang konkritnya diberikan secara individual dan merupakan pandangan atau persepsi serta terjadinya proses akumulasi dari amanat kepercayaan yang telah diberikan oleh individu-individu (Elvinaro Ardianto, 2004:118).
Salah satu cara yang dilakukan Partai Demokrat, dengan mamasang iklan atau cara lainnya, secara pelan-pelan atau proses cepat akan membentuk suatu opini publik yang lebih luas untuk untuk mengembalikan citra (image) baik pada Partai Demokrat. Sedangkan hasil survei dua lembaga survei itu jelas akan membangun citra buruk pada Partai Demokrat.
Secara umum, citra adalah total persepsi terhadap suatu objek, yang dibentuk dengan memproses informasi dari berbagai sumber setiap waktu. Citra dalam bahasa Inggris “image” adalah sejumlah kepercayaan, ide, atau nilai dari seseorang terhadap suatu objek, merupakan konstruksi mental seseorang yang diperolehnya dari hasil pergaulan atau pengalaman seseorang, atau merupakan interpretasi, reaksi, persepsi atau perasaan dari seseorang terhadap apa saja yang berhubungan dengannya.
Webster (1993) mendefinisikan citra sebagai gambaran mental atau konsep tentang sesuatu. Sementara Kotler (1995) mendefinisikan citra sebagai jumlah dari keyakinan- keyakinan, gambaran-gambaran, dan kesan-kesan yang dipunyai seseorang pada suatu obyek. Obyek yang dimaksud bisa berupa orang, organisasi, kelompok orang, atau yang lainnya.
Dalam suatu masyarakat, sering mendengar citra yang baik maupun citra yang buruk. Citra yang baik dalam suatu transaksi, merupakan aset yang sangat berharga, karena citra mempunyai suatu dampak pada persepsi nasabah dari komunikasi dalam berbagai hal.
Gronsoon (1990) mengidentifikasikan bahwa terdapat empat peran citra bagi suatu perusahaan atau organisasi. Pertama, citra mempunyai dampak terhadap pengharapan perusahaan. Citra yang positif lebih memudahkan bagi organisasi untuk berkomunikasi secara efektif dan membuat orang-orang lebih mudah mengerti dengan komunikasi dari mulut ke mulut. Sedangkan citra yang negatif mempunyai dampak dengan arah sebaliknya.
Kedua, Citra sebagai penyaring yang mempengaruhi persepsi pada kegiatan perusahaan. Kualitas teknik dan kualitas fungsional dilihat melalui saringan ini. Jika citra baik, maka citra menjadi pelindung. Tetapi perlindungan akan efektif jika hanya terjadi kesalahan-kesalahan kecil pada kualitas teknis dan fungsional, artinya image masih dapat menjadi pelindung dari kesalahan tersebut. Jika kesalahan sering terjadi, maka citra akan berubah menjadi citra yang negatif. Hal itu yang saat ini dialami oleh Partai Demokrat. Karena Partai Demokrat sudah melakukan kesalahan besar, yakni pengurus partainya terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi.
Ketiga, citra adalah fungsi dari pengalaman dan harapan konsumen/nasabah. Ketika konsumen/nasabah membangun harapan dan realitas pengalaman dalam bentuk kualitas pelayanan teknis dan fungsional, kualitas pelayanan yang dirasakan menghasilkan perubahan citra. Jika kualitas pelayanan yang dirasakan memenuhi atau melebihi citra, citra akan mendapat penguatan dan meningkat. Jika kinerja dibawah citra, maka pengaruhnya berlawanan.
Keempat, citra mempunyai pengaruh pada internal perusahaan (manajemen). Jika citra jelas dan positif, secara internal menceritakan nilai-nilai yang jelas dan akan menguatkan sikap positif terhadap organisasi. Sedangkan citra yang negatif juga akan berpengaruh negatif terhadap kineja karyawan yang berhubungan dengan konsumen/nasabah dan kualitas.
Menurut Frank Jefkins (1992:17), ada beberapa macam citra yang dikenal dalam aktivitas antara perusahaan dengan masyarakat. Pertama, adalah Mirror Image (Citra Bayangan). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi (biasanya adalah pemimpinnya) mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya.
Dalam kalimat lain, citra bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar, terhadap organisasinya. Citra ini seringkali tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan ataupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi itu mengenai pendapat atau pandangan pihak-pihak luar.
Kedua, Current Image (Citra yang Berlaku). Citra yang berlaku adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak- pihak luar mengenai suatu organisasi. Citra ini sepenuhnya ditentukan oleh banyak-sedikitnya informasi yang dimiliki oleh mereka yang mempercayainya.
Ketiga, Multiple Image (Citra Majemuk). Yaitu adanya image yang bermacam-macam dari publiknya terhadap organisasi tertentu yang ditimbulkan oleh mereka yang mewakili organisasi kita dengan tingkah laku yang berbeda-beda atau tidak seirama dengan tujuan atau asas organisasi.
Keempat, Corporate Image (Citra Perusahaan). Yang dimaksud dengan citra perusahaan ini adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas produk dan pelayanannya.
Kelima adalah Wish Image (Citra yang Di harapkan). Citra harapan ini adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen atau suatu organisasi. Citra yang diharapkan biasanya dirumuskan dan diterapkan untuk sesuatu yang relatif baru, ketika khalayak belum memiliki informasi yang memadai mengenainya.
Dalam kerangka citra, Partai Demokrat bisa menggunakan salah satu metode yang dilahirkan oleh Frank Jefkins tersebut. Nenurut hemat penulis, Partai Demokrat bisa menggunakan tiga strategi pencitraan yang dihasilkan oleh Jefkins. Pertama, citra perusahaan (corporate image). Bagaimana citra perusahaan yang positif lebih dikenal dan diterima oleh publiknya. Kedua, bisa menggunakan citra serbaneka (multiple image). Yaitu citra yang merupakan sebuah pelengkap dari citra perusahaan. Misalnya, bagaimana pihak Humas Partai Demokrat menampilkan pengenalan terhadap identitas, seperti atribut logo dan sejenisnya, yang diintegrasikan terhadap citra partai.
Selain itu bisa menggunakan citra penampilan (performance image). Cara membangun citra penampilan ini, lebih ditujukan kepada subyeknya. Bagaimana kinerja atau penampilan diri (performance image) para politisi atau pengurus Partai demokrat bersikap profesional mengelola partainya. Misalnya, dalam memberikan berbagai bentuk dan kualitas perhatian kepada masyarakat, dengan sikap berlandaskan etika menghadapi publik.
Mengapa demikian, karena proses terbentuknya citra pada dasarnya lebih bersifat subyektif berdasarkan penilaian terhadap suatu objek. Karena seringkali citra terbentuk hanya hasil dari efek media massa yang kuat, dengan pengemasan pesan yang begitu bagus. Sehingga mampu mempengaruhi pembentukan persepsi khalayak. Walaupun realitas yang sebenarnya tidaklah demikian.
Menjelang Pemilu 2014, adanya banyak format baru yang dilakukan pengurus partai politik untuk membangun atau mendongkrak citra partainya di masyarakat.  Mulai dari melakukan blusukan, hingga menggelar berbagai macam event. Selain untuk memperkenalkan aneka program partainya, juga membangun kepercayaan ke masyarakat.
Dalam teori pemasaran politik, seperti yang ditulis Rhenald Kasali, bahwa pesan komunikasi politik partai harus didesain sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan segmen yang telah dipilih. Hal itu, harus didukung dengan strategi partai yang juga harus didasarkan oleh riset pasar yang solid. Dengan karakter segmen yang jelas, maka akan memudahkan dalam menentukan dan mengemas pesan.
Kesadaran pelaku politik atau pengurus partai, dalam membangun citra partai politik sebenarnya merupakan program Public Relations yang baik. Karena program Public Relations menyangkut kebijakan partai mengenai bagaimana mengkomunikasikan prinsip, visi, misi dan platform partai politik, melakukan kampanye terarah untuk memperluas basis pemilihnya dan untuk membujuk khalayak yang heterogen memilih suatu partai politik tertentu.
Dalam pandangan Ibnu Hamad dalam majalah CAKRAM KOMUNIKASI (2004/239), Direktur Institute For Democracy and Communication Research (INDICATOR) bahwa, selain media iklan, partai politik harus juga menggunakan media Public Relations, teknik marketing, dan kecanggihan teknologi.  Karena yang dibutuhkan partai politik saat ini adalah kemampuan mengelola dirinya secara professional. Dengan demikian, Public Relations hal cukup penting dalam sebuah organisasi, perusahaan atau partai politik yang memiliki banyak kepentingan yang harus dicapai.
Partai politik tidak bisa terlepas pada persoalan personal branding. Yakni, sebuah pencitraan pribadi yang mewakili serangkaian keahlian, suatu ide cemerlang, sebuah sistem kepercayaan, dan persamaan nilai yang dianggap menarik oleh orang lain. Jika di partai Demokrat sosok yang menjual adalah Ketua Umum, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat sebagai Presiden RI.
Banyak tokoh yang mendefinisikan personal branding. Secara umum bisa dikatakan bahwa personal branding adalah segala sesuatu yang ada pada diri anda yang membedakan dan menjual, seperti pesan anda, pembawaan diri dan taktik pemasaran. Menurut Montoya (2006), Personal Branding adalah sebuah seni dalam menarik dan memelihara lebih banyak klien dengan cara membentuk persepsi publik secara aktif.
Sementara menurut Montoya dan Vandehey (2008) bahwa Personal Branding adalah sesuatu tentang bagaimana mengambil kendali atas penilaian orang lain terhadap anda sebelum ada pertemuan langsung dengan anda. Melihat definisi tersebut Mobray (2009) mengatakan, bahwa kemampuan menggunakan atribut-atribut secara bebas yang menunjukkan kemampuan anda dalam mengatur harapan-harapan yang ingin orang lain terima dalam pertemuannya dengan anda.
Penulis mencontohkan personal branding sangat erat dan marak dilakukan pada saat menjelang pemilihan kepala daerah, calon legislatif atau Pemilu Presiden. Seperti kampanye dan sejenisnya. Baik kampanye di tingkat daerah maupun di nasional. Contohnya di tingkat daerah adalah personal branding yang dimunculkan oleh Joko Widodo (Jokowi) pada saat sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi melakukan pencitraan dengan membawa misi “peduli wong cilik” antara lain dengan turun ke jalan melihat dan menemui langsung masyarakat untuk mengetahui keinginan dan permasalahan yang terjadi secara langsung, yang dikenal dengan istilah blusukan ala Jokowi.
Dari jabaran soal citra diatas dan personal brnading diatas, bahwa untuk masalah citra pada dasarnya dikarenakan adanya beberapa faktor. Karena organisasi dikenal, tetapi citranya buruk. Organisasi tidak dikenal dengan baik, tetapi mempunyai citra yang tidak jelas atau citra didasarkan pada pengalaman yang telah lama berlalu.
Seperti yang telah dikemukakan Bernstein (1985) dan Gronsoon (1990) bahwa image (citra) adalah realitas, maka program-program pengembangan dan perbaikan citra akan memberikan citra yang positif harus didasarkan pada realitas Reza Rahman (2009). Karena, citra hanya dapat dirasakan oleh nasabah atau masyarakat secara umum, dengan kenyataan yang dialami. Agar citra yang dipersepsikan oleh masyarakat baik dan benar, citra perlu dibangun dengan jujur.
Cara yang sudah digunakan secara luas dan mempunyai kredibilitas yang tinggi, yaitu dengan hubungan masyarakat. Gaulke dalam Marken (1995) mengatakan bahwa tujuan hubungan masyarakat adalah merancang dan melindungi citra organisasi. Kotler (1997) juga menjelaskan bahwa daya tarik penggunaan hubungan masyarakat sebagai cara untuk membangun citra.

Penutup
Ada beberapa hal yang terjadi mengapa citra Partai demokrat “terjun bebas”. Diantaranya, melilitnya kasus korupsi di tubuh Partai Demokrat dan menyeret petinggi partainya. Hasil survie oleh bannyak lembaga survie dan dipublikasikan di banyak media, baiak cetak, online dan televisi, membuat “Partai demokrat diujung kehancuran”.
Hasil survei yang dilakukan oleh dua lembaga survei tersebut, jelas akan menambah buruh citra partai yang dipimpin oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono itu. Imbasnya, perolehan suara pada Pemilu 2014 mendatang akan jauh berbeda dengan Pemilu 2009 lalu, yang mampu menjadi pemenang Pemilu.
Personal branding yang seharusnya terus dijaga dan dipupuk dengan baik, tak lagi berjalan mulus. Apalagi sejak ditahannya mantan para petinggi partai. Dan kini, para politis partai dalam melakukan komunikasi politik tak se indah tahun sebelumnya. Etika berkomunikasi dinilai lemah. Manajemen komunikasi politiknya tak terarah tak dan tertata dengan baik dan berkualitas.


DAFTAR PUSTAKA


Beekum, Rafik Issa. (2004). Etika Bisnis Islami. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Ruslan, Rosady. (2006). Manajemen Publik Relations dan Media Komunikasi Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Kriyantono, Rachmat. (2012). Public Relations Writing, Teknik Produksi Media Public Relations dan Publisitas Korporat. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.
Uchjana, Efendy, Onong. 2006. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Bandung: Remadja Rosdakarya.
Ardianto, Elvinaro. 2004. Public Relation : Suatu Pendekatan Praktis Kiat Menjadi Komunikator dalam Berhubungan dengan Publik dan Masyarakat. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Rahman, Reza. (2009). Corporate Social Responsibility antara Teori dan Kenyataan. Yogyakarta. Media Pressindo.
Jefkins, Frank. 1992. Public Relations. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Majalah CAKRAM KOMUNIKASI Edisi Januari 2004
http://nasional.kompas.com/read/2013/12/19/1625403/Survei.Suara.Demokrat.dan.PKS.Jeblok.karena.Korupsi
http://m.liputan6.com/news/read/781789/survei-pol-tracking-pdip-menang-pada-pemilu-2014