Oleh Yatimul Ainun
“Media massa telah berhasil menggantikan katedral atau gereja di
masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa kini”
(Harold D Laswell)
“Telivisi
adalah makanan surga dari Hollywood”
begitu kata Quentin J Schultze, seorang guru besar Seni dan Ilmu Komunikasi
dari Calvin College Amerika Serikat, lewat bukunya berjudul “Television:
Manna from Hollywood” (1986). Menurutnya, Televisi dipandang telah menjelma
lebih dari sekedar produk teknologi. Tetapi juga suatu bentuk budaya. Apa yang
dikatakan Schultze jelas tidak berlebihan
jika melihat kondisi dan realitas televisi saat ini.
Pengaruh atau efek dari tayangan
televisi kepada pemirsa cukup besar dan bahkan cukup dasyat. Dari apa yang
disampaikan Schultze tersebut, tak salah dan bahkan mulai terbukti saat ini,
apa yang dikatakan Harold D Laswell, bahwa “Media massa telah berhasil
menggantikan katedral atau gereja di masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa
kini”.
Lebih keras lagi apa yang dikatakan G, Gerbner dan K Conaly
(1978), bahwa televisi di zaman modern ini, benar-benar telah merampas hak-hak
istimewa agama tradisional dalam membantu para penganutnya mendefinisikan
realitas. Dari anggapan mereka, televisi telah menjadi “agama baru” di abad
media.
Dengan bentuk karakter budaya visualnya, program yang
ditayangkan, kehadiran televisi jelas telah membawa konsekuensi-konsekuensi
budaya baru yang mendalam, menjadi ideologi baru pada pemikiran dan cara
pandang anak muda masa kini. Tak hanya membawa informasi atau berita baru,
kehidupan berwarna-warni, tapi juga membawa ideologi baru. Dari itu, maklum,
jika banyak yang memuja dan sekaligus mengecam. Itulah realitas yang terjadi
pada “kota ajaib” itu.
Sejak orde baru tumbang, kran kebebasan berekspresi, berpendapat
dibuka lebar, semua orang berbondong-bondong antri, ingin memanfaatkan potensi
televisi, baik sebagai media kampanye politik hingga promosi kegiatan keagamaan
(berdakwah). Bahkan, tak hanya menanyangkan hal yang romantis, pornografi
hingga pornoaksi serta aktivitas kekerasan ikut serta merebut untuk tampil.
Dari sedikit uraian latar belakang realitas televisi yang ada di
negara kita Indonesia itu, penulis ingin mengajak “menelanjangi” bahwa di “kotak
ajaib” itu, sudah tumbuh “agama baru”. Apa “Agama baru”-nya itu? Menelisik dari
para pemikir Cultural Studiesi, bahwa
televisi sudah berhasil membangun “Kejayaan Citra”.
Sejak orde lama tumbang, berganti dengan orde baru, tembok
kekuasaan begitu kokoh. Karena hanya TVRI yang bebar terbang memberikan
informasi kepada khalayak. Televisi atau media lainnya dibelengggu tak bisa
muncul dan tampil ke permukaan. Hanya TVRI yang boleh menjadi propaganda para
penguasa. Baru setelah reformasi bangkit, gaya orde baru berhasil ‘tumbang’,
kemerdekaan untuk media lainnya muncul dengan aneka ragam menu dan sajian.
Namun, dengan kemerdekaan itu, ada yang mencolok dan kebablasan.
Jika masa orde abru lebih mengdepankan proses ideologisasi, kini televisi kita,
bergeser pada proses televisi beroreintasi kapitalistik-pragmatis dan bahkan hedonis.
Televisi yang awal munculnya bertujuan sebagai media proses pematangan
ideologis menurut Idi Subandy Ibrahim (2011), kini sudah tergantikan dengan
televisi hedonis. Hal ini yang menurut penulis, adalah “agama baru” dalam
pertelevisian Indonesia.
Selain perilaku hedonis yang diperagakan dalam program gaya
hidup, yang menentukan kelas menengah dan bawah, kaya dan miskin, modern dan
tradisional, ada yang lebih membahayakan generasi selanjutnya. Yakni, menampilkan
sosok artis atau figur yang sudah mencederai moral bangsa dan kehidupan.
Televisi malah mencabut sanksi sosial demi masa keemasan generasi selanjut.
Saat sosok artis atau figur itu diketahui melakukan perbuatan
amoral, melanggar etika dan hukum, menginjak kehormatan bangsa dan agama,
televisi memburunya hingga ‘hangus’ masa depannya dan jeruji besi
membelenggunya. Namun, saat bebas menghirup udara segar, jeruji besi tak lagi
membelenggunya, televisi malah mengakuinya, mambastisnya dan mempublikasikannya,
seakan tak pernah berdosa pada agama, negara serta publik yang pernah
membesarkannya.
Bahkan, banyak televisi berebut untuk menyediakan program, bukan
malah memberikan sanksi sosial. “Ya begitu kondisi televisi di Indonesia. Sosok
artis atau figur yang sudah tidak layak dicontoh oleh generasi selanjutnya,
malah kembali ditampilkan,” begitu kata seorang perempuan kelahiran Jepang, mantan
dosen Universitas Brawijaya Malang, saat diskusi dengan penulis, soal kondisi
pertevisian Indonesia saat ini.
Menurut perempuan kelahiran Jepang itu, di negaranya, jika sosok
artis atau figur sudah pernah melakukan hal yang melanggar hukum negara atau
agama, sudah tidak layak untuk mendapatkan program di sebuah televisi yang
menjadi konsumsi publik. Menjadi proses edukasi dan ideologisasi khalayak. Hal
itu adalah bentuk sanksi sosial. Dan sosok tersebut sudah tidak layak menjadi
figur.
Masih segar di ingat kita kasus yang menimpa Nazriel Irham alias
Ariel vokalis Peterpen, yang kini berubah nama menjadi grup musik ‘Noah’,
setelah keluar dari penjara, dalam kasus
video porno, di vonis penjara tiga tahun enam bulan serta didenda Rp 250 juta
oleh hakim di Pengadilan Negeri Bandung pada 31 Januari 2011 lalu. Kini Ariel
kembali tampil lebih dahsyat, tanpa beban apapun. Semua media televisi malah
memberikan ruang gerak bebas. Konstruksi televisi, tak lagi pada efek negatif
positif. Sosok Ariel dinilai adalah aset yang bisa menghasilkan banyak uang.
Televisi tak lagi melihat bahwa Ariel divonis karena melanggar pasal
29 Undang-Undang tentang Pornografi. Tak peduli bahwa Ariel diketahui terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu penyebaran
serta membuat dan menyediakan pornografi atau video porno. (TEMPO.co, edisi
Senin, 31 Januari 2011, judul “Vonis Tiga Tahun Enam Bulan Buat Ariel”).
Seharusnya,
konstruksi pihak televisi bahwa Ariel dan Luna
serat Cut Tari, yang telah terbukti secara hukum melakukan tindakan
mesum yang melanggar UU Pornografi, tidak layak menjadi figur. Sosok Ariel, jelas tidak mencerminkan manusia yang berpandangan
bahwa manusia dapat bahagia jika menjadi manusia seutuhnya, atau yang disebut
dengan teori perkembangan diri. Yaitu, manusia dapat merasakan nilai-nilai
kebenaran, pengetahuan, sosial, tanggungjawab moral, dan religius. Karena, tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan
yang benar menurut hukum.
Contoh kasus Ariel dalam tulisan ini, hanya salah satu kejadian
kecil. Karena masih banyak contoh televisi memunculkan atau mengangkat fenomena
yang lemah nilai edukasinya. Tak ada proses ideologi pada pemirsa. Apalagi jika
melihat perjalanan infotainmen yang ‘merusak’ tatanan jurnalisme. Yang
seharusnya membuka fakta malah membua aib dan dusta.
Sementara,
pendirian industri media media massa itu, tak akan berdiri kokoh jika tanpa
adanya idealisme media. Karena idealisme media itu akan menjadi nafas dan
identitas dalam kiprahnya. Idealisme media itu merupakan landasan dalam
penyanyian berita atau proram apapun yang akan ditayangkan. Tidak hanya
mengedepankan kepentingan kapitalistik, tapi juga proses ideologisasi untuk
publik. Media tak hanya menjadi “pembunuh ideologi masyarakat”. Pesan penulis,
kekuasaan media televisi, mesti dilawan dengan kekritisan audiens.
Terakhir, lebih
rumit dan tidak konsisten, yang mendominasi pertelevisian Indonesia adalah
kaidah-kaidah kesusilaan dan norma-norma kesopanan yang banyak diabaikan oleh
stasiun televisi. Dalih televisi yang bersangkutan, hanya karena mengikuti
keinginan pasar. Jika sudah dalam posisi demikian, Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) semestinya sebagai regulatory body di bidang penyiaran harus
memiliki syarat dan sanksi yang jelas. Tugas besar para ilmuan praktisi serta pakar
media, serta pemerintah, adalah membongkar dan merombak “agama baru” berupa
kapitalistik, pragmatis dan hedonis yang menjadi ideologi media saat ini. Demi
generasi emas masa depan yang lebih cemerlang.(*)
ItuKasino - Agen Judi Bola - Slot - Judi Poker - IDNLive - Sicbo - Baccarat - LiveCasino
BalasHapusMinimal Deposit & Withdraw Rp. 25.000,- / Rp.50.000,-
- Bonus Cashback Sportsbook 5% setiap Senin
- Bonus Rollingan Live Casino 1% setiap Senin
- Bonus Cashback Poker 0.2% setiap Kamis
- Bonus Cashback IDN Live 1% Setiap Senin
- Bonus Cashback Slot Games 5% Setiap Senin
Kontak Kami :
WhatsApp : +85593790515
Pusat Bantuan ituKasino :
• * www.linktr.ee/itukasino
Link Alternatif ituKasino :
• * www.kartujokers
• * www.pinaltiwin
Agen Taruhan Judi Teraman, Situs Taruhan Judi Teraman, Agen Judi Bola, Agen Judi Bola Online, Agen Bola Online, Agen Sportsbook, Judi Casino, Agen Judi Casino, Agen Casino Online, Agen Live Casino Terpercaya, Agen Judi Poker, Judi Poker, Agen Poker Online, Agen Judi Domino, Agen Domino Online, Agen Bandar Domino, Agen Bandar QQ, Agen Bandar Poker, Agen Bandar Ceme,
#agenonline, #agenjudionline, #judionline, #agentaruhanjudionline, #situstaruhanjudi, #sportsbook, #casino, #pokeronline, #agenbola, #agentaruhanbola, #agentaruhanonline, #agenjuditerpercaya, #agenjudibola, #agenpoker, #bursataruhan, #taruhanbola, #taruhanonline, #taruhanjudibola,