Jumat, 07 Februari 2014

“Menelanjangi Agama Baru” dalam Televisi Indonesia



Oleh Yatimul Ainun 
 “Media massa telah berhasil menggantikan katedral atau gereja di masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa kini”
(Harold D Laswell)

“Telivisi adalah makanan surga dari Hollywood” begitu kata Quentin J Schultze, seorang guru besar Seni dan Ilmu Komunikasi dari Calvin College Amerika Serikat, lewat bukunya berjudul “Television: Manna from Hollywood” (1986). Menurutnya, Televisi dipandang telah menjelma lebih dari sekedar produk teknologi. Tetapi juga suatu bentuk budaya. Apa yang dikatakan Schultze  jelas tidak berlebihan jika melihat kondisi dan realitas televisi saat ini.
            Pengaruh atau efek dari tayangan televisi kepada pemirsa cukup besar dan bahkan cukup dasyat. Dari apa yang disampaikan Schultze tersebut, tak salah dan bahkan mulai terbukti saat ini, apa yang dikatakan Harold D Laswell, bahwa “Media massa telah berhasil menggantikan katedral atau gereja di masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa kini”.
Lebih keras lagi apa yang dikatakan G, Gerbner dan K Conaly (1978), bahwa televisi di zaman modern ini, benar-benar telah merampas hak-hak istimewa agama tradisional dalam membantu para penganutnya mendefinisikan realitas. Dari anggapan mereka, televisi telah menjadi “agama baru” di abad media.
Dengan bentuk karakter budaya visualnya, program yang ditayangkan, kehadiran televisi jelas telah membawa konsekuensi-konsekuensi budaya baru yang mendalam, menjadi ideologi baru pada pemikiran dan cara pandang anak muda masa kini. Tak hanya membawa informasi atau berita baru, kehidupan berwarna-warni, tapi juga membawa ideologi baru. Dari itu, maklum, jika banyak yang memuja dan sekaligus mengecam. Itulah realitas yang terjadi pada “kota ajaib” itu.
Sejak orde baru tumbang, kran kebebasan berekspresi, berpendapat dibuka lebar, semua orang berbondong-bondong antri, ingin memanfaatkan potensi televisi, baik sebagai media kampanye politik hingga promosi kegiatan keagamaan (berdakwah). Bahkan, tak hanya menanyangkan hal yang romantis, pornografi hingga pornoaksi serta aktivitas kekerasan ikut serta merebut untuk tampil.
Dari sedikit uraian latar belakang realitas televisi yang ada di negara kita Indonesia itu, penulis ingin mengajak “menelanjangi” bahwa di “kotak ajaib” itu, sudah tumbuh “agama baru”. Apa “Agama baru”-nya itu? Menelisik dari para pemikir Cultural Studiesi,  bahwa televisi sudah berhasil membangun “Kejayaan Citra”.
Sejak orde lama tumbang, berganti dengan orde baru, tembok kekuasaan begitu kokoh. Karena hanya TVRI yang bebar terbang memberikan informasi kepada khalayak. Televisi atau media lainnya dibelengggu tak bisa muncul dan tampil ke permukaan. Hanya TVRI yang boleh menjadi propaganda para penguasa. Baru setelah reformasi bangkit, gaya orde baru berhasil ‘tumbang’, kemerdekaan untuk media lainnya muncul dengan aneka ragam menu dan sajian.
Namun, dengan kemerdekaan itu, ada yang mencolok dan kebablasan. Jika masa orde abru lebih mengdepankan proses ideologisasi, kini televisi kita, bergeser pada proses televisi beroreintasi kapitalistik-pragmatis dan bahkan hedonis. Televisi yang awal munculnya bertujuan sebagai media proses pematangan ideologis menurut Idi Subandy Ibrahim (2011), kini sudah tergantikan dengan televisi hedonis. Hal ini yang menurut penulis, adalah “agama baru” dalam pertelevisian Indonesia.
Selain perilaku hedonis yang diperagakan dalam program gaya hidup, yang menentukan kelas menengah dan bawah, kaya dan miskin, modern dan tradisional, ada yang lebih membahayakan generasi selanjutnya. Yakni, menampilkan sosok artis atau figur yang sudah mencederai moral bangsa dan kehidupan. Televisi malah mencabut sanksi sosial demi masa keemasan generasi selanjut.
Saat sosok artis atau figur itu diketahui melakukan perbuatan amoral, melanggar etika dan hukum, menginjak kehormatan bangsa dan agama, televisi memburunya hingga ‘hangus’ masa depannya dan jeruji besi membelenggunya. Namun, saat bebas menghirup udara segar, jeruji besi tak lagi membelenggunya, televisi malah mengakuinya, mambastisnya dan mempublikasikannya, seakan tak pernah berdosa pada agama, negara serta publik yang pernah membesarkannya.
Bahkan, banyak televisi berebut untuk menyediakan program, bukan malah memberikan sanksi sosial. “Ya begitu kondisi televisi di Indonesia. Sosok artis atau figur yang sudah tidak layak dicontoh oleh generasi selanjutnya, malah kembali ditampilkan,” begitu kata seorang perempuan kelahiran Jepang, mantan dosen Universitas Brawijaya Malang, saat diskusi dengan penulis, soal kondisi pertevisian Indonesia saat ini.
Menurut perempuan kelahiran Jepang itu, di negaranya, jika sosok artis atau figur sudah pernah melakukan hal yang melanggar hukum negara atau agama, sudah tidak layak untuk mendapatkan program di sebuah televisi yang menjadi konsumsi publik. Menjadi proses edukasi dan ideologisasi khalayak. Hal itu adalah bentuk sanksi sosial. Dan sosok tersebut sudah tidak layak menjadi figur.
Masih segar di ingat kita kasus yang menimpa Nazriel Irham alias Ariel vokalis Peterpen, yang kini berubah nama menjadi grup musik ‘Noah’, setelah keluar dari penjara,  dalam kasus video porno, di vonis penjara tiga tahun enam bulan serta didenda Rp 250 juta oleh hakim di Pengadilan Negeri Bandung pada 31 Januari 2011 lalu. Kini Ariel kembali tampil lebih dahsyat, tanpa beban apapun. Semua media televisi malah memberikan ruang gerak bebas. Konstruksi televisi, tak lagi pada efek negatif positif. Sosok Ariel dinilai adalah aset yang bisa menghasilkan banyak uang.
Televisi tak lagi melihat bahwa Ariel divonis karena melanggar pasal 29 Undang-Undang tentang Pornografi. Tak peduli bahwa Ariel diketahui terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu penyebaran serta membuat dan menyediakan pornografi atau video porno. (TEMPO.co, edisi Senin, 31 Januari 2011, judul “Vonis Tiga Tahun Enam Bulan Buat Ariel”).
Seharusnya, konstruksi pihak televisi bahwa Ariel dan Luna serat Cut Tari, yang telah terbukti secara hukum melakukan tindakan mesum yang melanggar UU Pornografi, tidak layak menjadi figur. Sosok Ariel, jelas tidak mencerminkan manusia yang berpandangan bahwa manusia dapat bahagia jika menjadi manusia seutuhnya, atau yang disebut dengan teori perkembangan diri. Yaitu, manusia dapat merasakan nilai-nilai kebenaran, pengetahuan, sosial, tanggungjawab moral, dan religius. Karena, tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.
Contoh kasus Ariel dalam tulisan ini, hanya salah satu kejadian kecil. Karena masih banyak contoh televisi memunculkan atau mengangkat fenomena yang lemah nilai edukasinya. Tak ada proses ideologi pada pemirsa. Apalagi jika melihat perjalanan infotainmen yang ‘merusak’ tatanan jurnalisme. Yang seharusnya membuka fakta malah membua aib dan dusta.
Sementara, pendirian industri media media massa itu, tak akan berdiri kokoh jika tanpa adanya idealisme media. Karena idealisme media itu akan menjadi nafas dan identitas dalam kiprahnya. Idealisme media itu merupakan landasan dalam penyanyian berita atau proram apapun yang akan ditayangkan. Tidak hanya mengedepankan kepentingan kapitalistik, tapi juga proses ideologisasi untuk publik. Media tak hanya menjadi “pembunuh ideologi masyarakat”. Pesan penulis, kekuasaan media televisi, mesti dilawan dengan kekritisan audiens.
Terakhir, lebih rumit dan tidak konsisten, yang mendominasi pertelevisian Indonesia adalah kaidah-kaidah kesusilaan dan norma-norma kesopanan yang banyak diabaikan oleh stasiun televisi. Dalih televisi yang bersangkutan, hanya karena mengikuti keinginan pasar. Jika sudah dalam posisi demikian, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) semestinya sebagai regulatory body di bidang penyiaran harus memiliki syarat dan sanksi yang jelas. Tugas besar para ilmuan praktisi serta pakar media, serta pemerintah, adalah membongkar dan merombak “agama baru” berupa kapitalistik, pragmatis dan hedonis yang menjadi ideologi media saat ini. Demi generasi emas masa depan yang lebih cemerlang.(*)

1 komentar:

  1. ItuKasino - Agen Judi Bola - Slot - Judi Poker - IDNLive - Sicbo - Baccarat - LiveCasino

    Minimal Deposit & Withdraw Rp. 25.000,- / Rp.50.000,-

    - Bonus Cashback Sportsbook 5% setiap Senin
    - Bonus Rollingan Live Casino 1% setiap Senin
    - Bonus Cashback Poker 0.2% setiap Kamis
    - Bonus Cashback IDN Live 1% Setiap Senin
    - Bonus Cashback Slot Games 5% Setiap Senin

    Kontak Kami :
    WhatsApp : +85593790515

    Pusat Bantuan ituKasino :
    * www.linktr.ee/itukasino

    Link Alternatif ituKasino :
    * www.kartujokers
    * www.pinaltiwin

    Agen Taruhan Judi Teraman, Situs Taruhan Judi Teraman, Agen Judi Bola, Agen Judi Bola Online, Agen Bola Online, Agen Sportsbook, Judi Casino, Agen Judi Casino, Agen Casino Online, Agen Live Casino Terpercaya, Agen Judi Poker, Judi Poker, Agen Poker Online, Agen Judi Domino, Agen Domino Online, Agen Bandar Domino, Agen Bandar QQ, Agen Bandar Poker, Agen Bandar Ceme,

    #agenonline, #agenjudionline, #judionline, #agentaruhanjudionline, #situstaruhanjudi, #sportsbook, #casino, #pokeronline, #agenbola, #agentaruhanbola, #agentaruhanonline, #agenjuditerpercaya, #agenjudibola, #agenpoker, #bursataruhan, #taruhanbola, #taruhanonline, #taruhanjudibola,

    BalasHapus