Jumat, 15 Mei 2015

Kapolda Jatim: Tiga Anggota ISIS di Malang, 6 Bulan Ikut Berperang di Suriah

MALANG - Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Anas Yusuf menegaskan, bahwa tiga terduga anggota ISIS asal Malang, Jawa Timur, terbukti sudah pernah ikut berperang di Suriah bersama kelompok ISIS lainnya.

Ketiganya adalah kelompok yang berafiliasi dengan kelompok ISIS Salim Mubarok alias Abu Jandal Al Indonisi. Yakni, Abdul Hakim Munabari, warga Jalan Ade Irma Suryani, RT 07 RW 11, Gg 3 A No 306, Kelurahan Kasin, Kec Klojen, Helmi Aalamudi (51), di Jalan Soputan 2 RT 03 RW 01, Kelurahan Karang Besuki, Kecamatan Sukun dan Ahmad Junaidi (34), di Jalan Parseh Jaya 2, RT 1/RW 4 Kelurahan Bumiayu, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

"Ketiga orang tersebut terbukti jadi anggota ISIS dan sudah pernah ikut perang ke Suriah. Ikut berperang selama 6 bulan disana. Selama di Suriah, tak hanya ikut membuat peralatan perang kelompok ISIS," jelas Irjen Anas Yusuf, saat jumpa pers di Mapolresta Malang, Kamis (26/3/2015).

Menurutnya, ketiganya sudah lama diintai pihak Densus 88 Antiteror Mabes Polri. "Jelas ketiganya adalah kelompok ISIS, bukti kita sudah kuat. Data kita jelas dari intelijen," katanya.

Ketiga, selama 6 bulan di Suriah, sudah pernah ikut perang dan juga belajar merakit bom. "Disana di camp perbatasan, masuk kelompoknya Salim Mubarok alias Abu Jandal Al Indonisi, yang unggah videonya di Youtube.

"Ketiganya dikenakan UU terorisme. Kita sudah mengeledah tiga rumah pelaku. Ada beberapa barang bukti yang kita sita di rumahnya tadi pagi. Kemungkinan masih banyak kelompok lain yang bergabung. Kita terus melakukan penyelidikan untuk di beberapa daerah di Jawa Timur," tegasnya.

Senin, 09 Februari 2015

Restorasi Hari Pers Nasional




Yatimul Ainun*
 

BULAN Februari, bagi sebagian kaum jurnalis atau wartawan, dinilai bulan yang "istimewa". Karena pada bulan tersebut, tepatnya 9 Februari, dinilai sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Pada peringatan puncak HPN 2015, secara nasional diperingati hari ini, Senin (9/2/2015), di Batam, Kepulaua Riau.

Dalam acara tersebut, dilakukan peluncuran dan sekaligus penyerahan 26 buku karya para jurnalis kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagian "buruh tinta" itu memperingati Hari Pers Nasional pada 9 Februari, karena berdasar pada Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.

Lahirnya Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 tersebut, berdasarkan usulan dari hasil Sidang ke-21 Dewan Pers di Bandung, Jawa Barat, pada 19 Februari 1981 silam. Usulan Dewan Pers tersebut sebagai tindaklanjut dari cetusan kehendak "masyarakat pers Indonesia" yang tercantum dalam satu butir keputusan Kongres ke-28 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1978.

Setelah mendapat pengakuan dari pemerintah, khusunya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), selaku salah satu organisasi profesi yang dimiliki wartawan, mulai merangkul semua komponen pers untuk ikut ambil bagian dalam peringatan HPN. PWI menilai, bahwa HPN adalah milik semua komponen pers dan masyarakat luas, mengingat pers adalah merupakan pilar keempat dalam kehidupan demokrasi di luar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

PWI menilai, komponen pers bukan hanya kalangan wartawan atau jurnalis sebagai pilar utamanya, melainkan juga pihak terkait, seperti perusahaan penerbitan pers, periklanan, perhumasan, dan semua pihak yang peduli terhadap eksistensi pers yang merdeka, independen, profesional dan beretika.

Namun, sejak puluhan tahun silam, keberadaan HPN mulai menuai kritik dan dipersoalkan oleh dikalangan internal jurnalis, praktisi media dan para sejarawan. Mengapa? Karena penetapan 9 Februari, dinilai bukan lahirnya sejaah pers nasional. Namun,  di tanggal 9 Februari itu hanyalah hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Perdebatan dan kontroversi peringatan HPN dikalangan awak media, terus muncul hingga kini. Para wartawan atau jurnalis yang tergabung di Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Ikatan Jurnalis Independen (AJI) terus mempertanyakan HPN. Dua organisasi profesi jurnalis tersebut mendesak kepada pemerintah untuk merumuskan kembali kapan lahirnya sejarah pers nasional dan pemerintah juga diminta untuk menentukan kriteria pers nasional tertua di nusantara.

Dari pelacakan dan catatan sejarah, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan jauh sebelum PWI, sudah lahir organisasi wartawan di masa perjuangan melawan kolonialisme, yaitu Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang dipelopori oleh Marco Kartodikromo pada tahun 1914. selanjutnya pada tahun 1925 juga lahir organisasi wartawan bernama Sarekat Journalists Asia, Perkumpulan Kaoem Journalists pada tahun 1931, dan Persatoean Djurnalis Indonesia pada tahun 1940. sementara, organisasi PWI sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946.

Hari lahir PWI naik kasta menjadi hari pers, yang diperingati secara nasional oleh sebagian wartawan karena peran dari Harmoko yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia. Pada tahun 1985, Harmoko berhasil "merayu" Presiden Soeharto untuk menetapkan Hari Pers Nasional jatuh pada 9 Februari 1985.

Saat rezim orde baru berkuasa, media yang ada di Indonesia tak lagi menemukan kemerdekaan, pemerintah juga banyak melakukan pembredelan media yang dinilai melawan dan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. para jurnalis banyak yang dibunuh karena bersikap kritis.

Saat itulah, sekumpulan jurnalis mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi nama Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI mulai pecah, menjadi dua dengan lahirnya PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Lahirnya HPN yang merujuk pada hari lahir PWI tak hanya dipertanyakan para jurnalis yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Namun, lahirnya HPN dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di Indonesia juga dipertanyakan oleh para sejarawan Indonesia.

Misalnya, Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI mengungkapkan bahwa terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum Indoensia merdeka, baik sesudah tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers nasional. Menurutnya, jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah lahir pers perjuangan yang dikendalikan oleh orang-orang pribumi.

Selanjutnya, juga diungkap oleh Taufik Rahzen, seorang peneliti sejarah pers nasional yang hasilnya sudah diterbitkan dalam buku berjudul "100 Tahun Pers Nasional" yang diterbitkan saat peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional pada tahun 2008 silam. Taufik Rahzen mengusulkan agar tanggal penerbitan pertama Medan Prijaji, koran pribumi pertama yang dinahkodai oleh Tirto Adhi Suryo, sebagai tonggak sejarah Hari Pers Nasional, yakni 1 Januari 1907.

Sejarah mencatat, bahwa Medan Prijaji adalah koran pertama yang seluruh awaknya adalah warga pribumi dan koran tersebut diterbitkan dalam bahasa Melayu. Tirto Adhi Surjo dianggap meletakkan dasar organisasi pers yang modern. Memang sebelum Medan Prijaji terbit, sudah ada pers yang terbit di Hindia Belanda, seperti Bataviasche Nouvelles. Inilah koran yang terbit di Batavia pada tahun 1744-1746.

Namun, kontroversi tersebut tak berhenti dengan penelitian tentang sejarah lahirnya Medan Prijaji sebagai pers nasional pertama. Banyak sejarawan juga menyebut bahwa jauh sebelum Medan Prijaji lahir, pada tahun 1900 sudah ada koran berbahasa Melayu di Sumatera dengan nama Pewarta Wolanda. Pendirinya adalah Abdul Rivai, yang pada tahun 1902 juga menerbitkan koran berhasa Melayu, yang diberi nama Bintang Hindia.

Seorang Dosen di Universiteit Leiden, Belanda, Suryadi, dalam kolomnya yang dimuat di Harian Padang Ekspres, 6 Oktober 2007 lalu, menyebut bahwa terlalu berlebihan menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional. Mengapa? Karena dari hasil penelitian yang ditemukan Suryadi, bahwa masih ada media yang lahir sebelum Medan Prijaji, antara lain: Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe, (Semarang, 1860), Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863), Bintang Timor (Padang, 1865), Bintang Djohar (Betawi, 1873), Mata Hari (Makassar, 1883), Pelita Ketjil (Padang, 1886), Insulinde (Padang, 1901). Bahkan, juga Bintang Utara (Rotterdam, 1856) dan Bintang Hindia (Amsterdam, 1903) adalah sedikit contoh dari puluhan surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang terbit sebelum Medan Prijaji lahir ke dunia.

Melihat catatan sejarah tersebut diatas, sudah saatnya pemerintah Indonesia, yang kini di "komando" oleh Presiden Joko Widodo, untuk merestorasi sejarah hari pers nasional yang nantinya akan menjadi dasar penetapan Hari Pers Nasional (HPN). Pemerintah sudah saatnya untuk menentukan kriteria pers nasional. Misalnya, kriteria itu media nasional adalah media atau koran yang berbahasa Indonesia (Melayu), dikelola pribumi, berkontribusi pada pembangunan nasionalisme.

Setelah merumuskan kriteria tersebut, semua pihak, mulai dari pemerintah, seluruh wartawan atau jurnalis, baik yang tergabung dalam PWI, IJTI dan AJI serta organisasi profesi jurnalis lainnya, yang belum terdaftar di Dewan Pers menentukan kapan Hari Pers Nasional (HPN) itu.

Penyelesaian kontroversi penetapan HPN tersebut jelas menjadi tugas jurnalis, pegiat pers dan sejarawan untuk merumuskan hari lahir pers nasional. Hal tersebut jelas bukan hal yang mudah. Karena sejarah lahir dari pergulatan pada zamannya. Beberapa pers di masa kolonial tak berani berdiri tanpa keterlibatan pemerintah Hindia Belanda, karena itulah taktik yang tersedia.

Demikian pula pilihan bahasa yang tak seratus persen berbahasa melayu juga salah satu bagian dari strategi media saat rakyat Indonesia berjuang merebut kemerdekaan. Sejarah hari ini adalah akumulasi sejarah pada tahun-tahun sebelumnya. Sejarah bukan senyawa yang berdiri sendiri, namun terpisah dari peristiwa sebelumnya. Sejarah adalah dialektika kehidupan itu sendiri.

Restorasi HPN menjadi hal yang penting dilakukan oleh pemerintah dan para jurnalis khususnya, untuk menguak nilai sejarah yang nantinya akan menjadi kekuatan semangat bagi "pejuang" penegak pilar ke empat demokrasi yakni peran media. saatnya para "buruh tinta" berkumpul bersatu, duduk bersama untuk meluruskan sejarah pers nasional.

Selain itu, para jurnalis juga diharapkan mampu menegakkan tujuan dari jurnalisme yang mampu menyediakan informasi yang diperlukan masyarakat dengan mengusung prinsip kebenaran, disiplin verifikasi, menjaga independensi terhadap sumber berita, harus menjadi pemantau kekuasaan, menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku berjudul "Sembilan Elemen Jurnalisme" menulisnya, ada sembilan tugas jurnalis dan juga media dalam menulis berita. Selain kewajiban pertama jurnalis  adalah berpihak pada kebenaran, juga berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan. Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional serta para praktisi jurnalisme harus diperbolehan mengikuti hati nuraninya.

*Penulis adalah jurnalis KOMPAS.com dan Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) Malang


Senin, 24 Februari 2014

Rebutan Jabatan Modin, Puluhan Warga Demo Kades


MALANG - Rebutan jabatan Modin atau perangkat desa yang biasanya mengurusi pernikahan atau kematian terjadi di Desa Krebet, Kecamatan Bululawang,Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kepala desa setempat dinilai otoriter, dalam memilih Modin. Tak terima puluhan warga demo Kades.

Puluhan warga mendatangi kantor Desa krebet pada Senin (24/2/2014). Mereka mendesak agar calon yang sudah dipilih oleh kepala desa Krebet, H Muhammad Said, dan mendapatkan Surat keputusan (SK) dibatalkan.

Alasan warga, pemilihan Modin yang diberikan kapada Muhammad Khusen, menggantikan Amiruddin  tidak melalui jalur demokratis. "Harus dibatalkan. Karena yang dipilih kepala desa tidak disukai warga," kata Abdul Karim, koordinator warga.

Pria yang juga menjabat Ketua BPD Desa Krebet itu menegaskan, kepala desa tidak bersikap otoriter dalam memilih penabatn desa. "Dalam pengangkatan Modin, harus ada rapat dengan BPD. Selama ini, BPD tidak dilibatkan. warga juga menolak dan tidak setuju pejabat baru itu," katanya.

Puluhan warga itu mendesak agar kepala desa membatalkan SK yang sudah dikeluarkan untuk pejabat Modin yang baru. warga meminya pemilihan modin itu dilakukan secara transparan dan atas persetujuan warga dan BPD. "Harus dilakukan secara demokratis. Kades jangan otoriter," tegasnya.

Sementara itu, menanggapi tuntuan warga tersebut HM Said langsung membatalkan SK yang dikeluarkannya. "Atas desakan warga saya membatalkan SK baru itu. Namun, saya berharap, jika nantinya dilakukan pemilihan lagi, warga harus rasional dan memilih sosok yang layak dan memiliki kemampuan sesuai dengan jabatannya," katanya.

Jumat, 07 Februari 2014

“Menelanjangi Agama Baru” dalam Televisi Indonesia



Oleh Yatimul Ainun 
 “Media massa telah berhasil menggantikan katedral atau gereja di masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa kini”
(Harold D Laswell)

“Telivisi adalah makanan surga dari Hollywood” begitu kata Quentin J Schultze, seorang guru besar Seni dan Ilmu Komunikasi dari Calvin College Amerika Serikat, lewat bukunya berjudul “Television: Manna from Hollywood” (1986). Menurutnya, Televisi dipandang telah menjelma lebih dari sekedar produk teknologi. Tetapi juga suatu bentuk budaya. Apa yang dikatakan Schultze  jelas tidak berlebihan jika melihat kondisi dan realitas televisi saat ini.
            Pengaruh atau efek dari tayangan televisi kepada pemirsa cukup besar dan bahkan cukup dasyat. Dari apa yang disampaikan Schultze tersebut, tak salah dan bahkan mulai terbukti saat ini, apa yang dikatakan Harold D Laswell, bahwa “Media massa telah berhasil menggantikan katedral atau gereja di masa lalu sebagai guru bagi anak muda masa kini”.
Lebih keras lagi apa yang dikatakan G, Gerbner dan K Conaly (1978), bahwa televisi di zaman modern ini, benar-benar telah merampas hak-hak istimewa agama tradisional dalam membantu para penganutnya mendefinisikan realitas. Dari anggapan mereka, televisi telah menjadi “agama baru” di abad media.
Dengan bentuk karakter budaya visualnya, program yang ditayangkan, kehadiran televisi jelas telah membawa konsekuensi-konsekuensi budaya baru yang mendalam, menjadi ideologi baru pada pemikiran dan cara pandang anak muda masa kini. Tak hanya membawa informasi atau berita baru, kehidupan berwarna-warni, tapi juga membawa ideologi baru. Dari itu, maklum, jika banyak yang memuja dan sekaligus mengecam. Itulah realitas yang terjadi pada “kota ajaib” itu.
Sejak orde baru tumbang, kran kebebasan berekspresi, berpendapat dibuka lebar, semua orang berbondong-bondong antri, ingin memanfaatkan potensi televisi, baik sebagai media kampanye politik hingga promosi kegiatan keagamaan (berdakwah). Bahkan, tak hanya menanyangkan hal yang romantis, pornografi hingga pornoaksi serta aktivitas kekerasan ikut serta merebut untuk tampil.
Dari sedikit uraian latar belakang realitas televisi yang ada di negara kita Indonesia itu, penulis ingin mengajak “menelanjangi” bahwa di “kotak ajaib” itu, sudah tumbuh “agama baru”. Apa “Agama baru”-nya itu? Menelisik dari para pemikir Cultural Studiesi,  bahwa televisi sudah berhasil membangun “Kejayaan Citra”.
Sejak orde lama tumbang, berganti dengan orde baru, tembok kekuasaan begitu kokoh. Karena hanya TVRI yang bebar terbang memberikan informasi kepada khalayak. Televisi atau media lainnya dibelengggu tak bisa muncul dan tampil ke permukaan. Hanya TVRI yang boleh menjadi propaganda para penguasa. Baru setelah reformasi bangkit, gaya orde baru berhasil ‘tumbang’, kemerdekaan untuk media lainnya muncul dengan aneka ragam menu dan sajian.
Namun, dengan kemerdekaan itu, ada yang mencolok dan kebablasan. Jika masa orde abru lebih mengdepankan proses ideologisasi, kini televisi kita, bergeser pada proses televisi beroreintasi kapitalistik-pragmatis dan bahkan hedonis. Televisi yang awal munculnya bertujuan sebagai media proses pematangan ideologis menurut Idi Subandy Ibrahim (2011), kini sudah tergantikan dengan televisi hedonis. Hal ini yang menurut penulis, adalah “agama baru” dalam pertelevisian Indonesia.
Selain perilaku hedonis yang diperagakan dalam program gaya hidup, yang menentukan kelas menengah dan bawah, kaya dan miskin, modern dan tradisional, ada yang lebih membahayakan generasi selanjutnya. Yakni, menampilkan sosok artis atau figur yang sudah mencederai moral bangsa dan kehidupan. Televisi malah mencabut sanksi sosial demi masa keemasan generasi selanjut.
Saat sosok artis atau figur itu diketahui melakukan perbuatan amoral, melanggar etika dan hukum, menginjak kehormatan bangsa dan agama, televisi memburunya hingga ‘hangus’ masa depannya dan jeruji besi membelenggunya. Namun, saat bebas menghirup udara segar, jeruji besi tak lagi membelenggunya, televisi malah mengakuinya, mambastisnya dan mempublikasikannya, seakan tak pernah berdosa pada agama, negara serta publik yang pernah membesarkannya.
Bahkan, banyak televisi berebut untuk menyediakan program, bukan malah memberikan sanksi sosial. “Ya begitu kondisi televisi di Indonesia. Sosok artis atau figur yang sudah tidak layak dicontoh oleh generasi selanjutnya, malah kembali ditampilkan,” begitu kata seorang perempuan kelahiran Jepang, mantan dosen Universitas Brawijaya Malang, saat diskusi dengan penulis, soal kondisi pertevisian Indonesia saat ini.
Menurut perempuan kelahiran Jepang itu, di negaranya, jika sosok artis atau figur sudah pernah melakukan hal yang melanggar hukum negara atau agama, sudah tidak layak untuk mendapatkan program di sebuah televisi yang menjadi konsumsi publik. Menjadi proses edukasi dan ideologisasi khalayak. Hal itu adalah bentuk sanksi sosial. Dan sosok tersebut sudah tidak layak menjadi figur.
Masih segar di ingat kita kasus yang menimpa Nazriel Irham alias Ariel vokalis Peterpen, yang kini berubah nama menjadi grup musik ‘Noah’, setelah keluar dari penjara,  dalam kasus video porno, di vonis penjara tiga tahun enam bulan serta didenda Rp 250 juta oleh hakim di Pengadilan Negeri Bandung pada 31 Januari 2011 lalu. Kini Ariel kembali tampil lebih dahsyat, tanpa beban apapun. Semua media televisi malah memberikan ruang gerak bebas. Konstruksi televisi, tak lagi pada efek negatif positif. Sosok Ariel dinilai adalah aset yang bisa menghasilkan banyak uang.
Televisi tak lagi melihat bahwa Ariel divonis karena melanggar pasal 29 Undang-Undang tentang Pornografi. Tak peduli bahwa Ariel diketahui terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu penyebaran serta membuat dan menyediakan pornografi atau video porno. (TEMPO.co, edisi Senin, 31 Januari 2011, judul “Vonis Tiga Tahun Enam Bulan Buat Ariel”).
Seharusnya, konstruksi pihak televisi bahwa Ariel dan Luna serat Cut Tari, yang telah terbukti secara hukum melakukan tindakan mesum yang melanggar UU Pornografi, tidak layak menjadi figur. Sosok Ariel, jelas tidak mencerminkan manusia yang berpandangan bahwa manusia dapat bahagia jika menjadi manusia seutuhnya, atau yang disebut dengan teori perkembangan diri. Yaitu, manusia dapat merasakan nilai-nilai kebenaran, pengetahuan, sosial, tanggungjawab moral, dan religius. Karena, tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.
Contoh kasus Ariel dalam tulisan ini, hanya salah satu kejadian kecil. Karena masih banyak contoh televisi memunculkan atau mengangkat fenomena yang lemah nilai edukasinya. Tak ada proses ideologi pada pemirsa. Apalagi jika melihat perjalanan infotainmen yang ‘merusak’ tatanan jurnalisme. Yang seharusnya membuka fakta malah membua aib dan dusta.
Sementara, pendirian industri media media massa itu, tak akan berdiri kokoh jika tanpa adanya idealisme media. Karena idealisme media itu akan menjadi nafas dan identitas dalam kiprahnya. Idealisme media itu merupakan landasan dalam penyanyian berita atau proram apapun yang akan ditayangkan. Tidak hanya mengedepankan kepentingan kapitalistik, tapi juga proses ideologisasi untuk publik. Media tak hanya menjadi “pembunuh ideologi masyarakat”. Pesan penulis, kekuasaan media televisi, mesti dilawan dengan kekritisan audiens.
Terakhir, lebih rumit dan tidak konsisten, yang mendominasi pertelevisian Indonesia adalah kaidah-kaidah kesusilaan dan norma-norma kesopanan yang banyak diabaikan oleh stasiun televisi. Dalih televisi yang bersangkutan, hanya karena mengikuti keinginan pasar. Jika sudah dalam posisi demikian, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) semestinya sebagai regulatory body di bidang penyiaran harus memiliki syarat dan sanksi yang jelas. Tugas besar para ilmuan praktisi serta pakar media, serta pemerintah, adalah membongkar dan merombak “agama baru” berupa kapitalistik, pragmatis dan hedonis yang menjadi ideologi media saat ini. Demi generasi emas masa depan yang lebih cemerlang.(*)

Selasa, 04 Februari 2014

“Menghias” Partai Bulang Bintang Melalui Marketing Politik


Oleh: Yatimul Ainun
“Dalam kelam Indonesia Suram, jadilah Bulan Bintang. Bulan memberikan terang dalam kedamaian. Dia laksana hati yang bersih yang memancarkan cahaya Ilahi”. Begitu sedikit bait puisi dari penulis untuk Partai Bulan Bintang (PBB).

Beberapa pengamat politik dan politisi partai politik (parpol) terutama di era reformasi di Indonesia saat ini, sudah memperkenalkan teori pencitraan kepada publik untuk memperoleh suara pemilih dalam Pemilu. Teori pencitraan itu didukung kalangan khususnya teoritisi komunikasi politik dan umumnya ilmu politik meyakini penggunaan teori pencitraan terhadap Parpol dapat memiliki peran atau memberi kontribusi di dalam menentukan proses demokratisasi. Hal itu tak hanya diterapkan Partai Bulan Bintang. Tapi sudah dilakukan oleh semua partai peserta Pemilu.
Dalam perkembangannya, teori pencitraan diperkuat dengan kemunculan teori pemasaran politik (political marketing) didukung kalangan khususnya teoritisi manajemen pemasaran dan umumnya ilmu ekonomi. Pendukung teori pemasaran politik juga meyakini, penggunaan pemasaran politik memiliki kontribusi atau peran di dalam menentukan proses demokratisasi.
Melihat kondisi demikian, penulis diminta untuk menelisik perjalanan Partai Bulan Bintang untuk membangun pencitraan ke publik.  Karena, citra (image) itu adalah salah satu aset terpenting parpol. Citra parpol positif atau baik di mata publik bergantung pada pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik tentang parpol. Pada gilirannya dapat mendorong publik untuk mendukung dan memberikan suara kepada parpol tersebut dalam Pemilu.
Di Indonesia perkembangan politik kepartaian sejak Pemilu tahun 1990-an ditandai dengan kesadaran akan upaya kehumasan tampak tidak hanya terfokus pada kegiatan kampanye dengan metode orasi di tengah lapang, namun lebih pada komunikasi politik melalui berbagai media massa.
Teori pencitraan parpol pada umumnya menggunakan pendekatan pemasaran politik. Pemasaran politik (political marketing) adalah ilmu baru yang mencoba menggabungkan teori-teori marketing dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, pemasaran politik masih tergolong baru. Namun, telah menjadi popular dalam ranah politik di negara demokrasi industri maju.
Kini, parpol mulai berlomba-lomba memanfaatkan ilmu ini, untuk strategi kampanye baik untuk mendapatkan dukungan politik dalam Pemilu maupun memilihara citra sepanjang saat dalam jeda Pemilu. Sebelum banyak mengupas tentang proses pencitraan dalam marketing politik, penulis memulai bahasan ini dari sebuah sejarah singkat berdirinya Partai Bulan Bintang.
Ditelisik dari sejarah berdirinya, yang ditulis dalam websiten Partai Bulan Bintang (PBB), adalah sebuah partai politik di Indonesia yang berasaskan Islam. Partai tersebut berdiri pada 17 Juli 1998 di Jakarta dan dideklarasikan pada Jumat 26 Juli 1998 di halaman Masjid Al-Azhar, Kemayoran Baru Jakarta.
Sejak awal berdiri, Partai Bulan Bintang ini didukung oleh ormas-ormas Islam tingkat Nasional. Seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi dan Silaturahmi Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Forum Silaturahmi Ulama, Habaib dan Tokoh Masyarakat (FSUHTM), Persatuan Islam (PERSIS), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Umat Islam (PUI), Perti, Al-Irsyad, Komite untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Lembaga Hikmah, Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI).
Didukung juga oleh Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam (GPI), KB-PII, KB-GPI, Hidayatullah, Asyafiiyah, Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Badan Koordinasi Muballigh Indonesia (Bakomubin), Wanita Islam, Ikatan Keluarga Masjid Indonesia (IKMI), Ittihadul Mubalighin, Forum Antar Kampus dan Lembaga Penelitian Pengkajian Islam (LPPI).
Berbagai ormas tersebut bergabung di dalam Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) yang didirikan pada 12 Mei 1998. BKUI merupakan pelanjut dari Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) yang didirikan pada 1 Agustus 1989 oleh Pemimpin Partai Masyumi yaitu DR.H. Mohammad Natsir, Prof.DR.HM Rasyidi, KH Maskur, KH Rusli Abdul Wahid, KH Noer Ali, DR. Anwar Harjono, H Yunan Nasution, KH Hasan Basri dan banyak bberapa kiai lainnya.
Pada awal berdirinya PBB dipimpin oleh Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, tokoh reformasi yang menjadi arsitek berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden RI ketika reformasi bergulir dan juga sebagai tokoh yang mempelopori Amandemen Konstitusi Pasca reformasi ditengah tuntutan Federalisme dari berbagai tokoh reformasi ketika itu dan pernah pula menjadi Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara.
Sedangkan DR. H.MS. Kaban diangkat sebagai Sekretaris Jendral, tokoh HMI yang sangat disegani dan pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan yang juga dikenal tanpa kompromi dengan para cukong kayu dan perambah hutan Indonesia. Berikutnya MS Kaban dipilih sebagai Ketua Umum PBB pada 1 Mei 2005 dan Drs.H. Sahar L. Hasan  sebagai Sekjen.
Sejak Muktamar ke-3, April 2010, di Medan partai ini telah menetapkan kembali DR.H.MS Kaban sebagai Ketua Umum dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc. sebagai Ketua Majelis Syuro dan  BM Wibowo,SE., MM., mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Massa Islam Hidayatullah, sebagai Sekretaris Jenderal.
Partai Bulan Bintang sejak reformasi  telah menjadi peserta pemilu dan telah mengikuti Pemilu tahun 1999, 2004 dan Pemilu tahun 2009. Pada Pemilu tahun 1999, Partai Bulan Bintang mampu meraih 2.050.000 suara atau sekitar 2 persen dan meraih 13 kursi DPR RI. Sementara pada Pemilu 2004 memenangkan suara sebesar 2.970.487 pemilih (2,62 Persema) dan mendapatkan 11 kursi di DPR.
Dalam Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2009, PBB memeroleh suara sekitar 1,8 juta yang setara dengan 1,7 persen dan dengan system parliamentary threshold 2,5 persen sehingga berakibat hilangnya wakil PBB di DPR RI, meski di beberapa daerah pemilihan beberapa calon anggota DPR RI yang diajukan mendapatkan dukungan suara rakyat dan memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Anggota DPR RI.
Namun PBB masih memiliki sekitar 400 Anggota DPRD baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Adapun visi PBB adalah terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami. Misinya, untuk membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri berkepribadian tinggi, cerdas, berkeadilan, demokratis dan turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dari sejarah singkat Partai Bulang Bintang diatas, kini banyak pesan dan gerakan yang dilakukan PBB. Baik pesan melalui memasang benner, baliho dan iklan di banyak media, baik televisi, media cetak, radio dan media online. Pengaruh pesan yang disampaikan tersebut jelas akan banyak efek yang menguntungkan partai.
Dari analisis penulis, tentang pengaruh pesan yang disampaikan parpol melalui media masa memiliki nilai signifikan terhadap keputusan memilih masyarakat, meskipun ini memang bukan satu-satunya faktor. Parpol tidak hanya memanfaatkan jasa konsultan kehumasan, juga membuat media khusus untuk mengkomunikasikan visi, misi dan program parpol.  Selain itu, ada parpol mempunyai website sebagai kelengkapan instrumen kampanye. Semua informasi Parpol disajikan secara detil di website tersebut. Seperti apa yang dilakukan PBB, dengan membuat website, bulan-bintang.org.
Dalam teori pencitraan, parpol pada umumnya menggunakan pendekatan pemasaran politik. Pemasaran politik (political marketing) adalah ilmu baru yang mencoba menggabungkan teori-teori marketing dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, pemasaran politik masih tergolong baru, namun telah menjadi popular dalam ranah politik di negara demokrasi industri maju.
Konsep inti pemasaran adalah bagaimana transaksi diciptakan, difasilitasi dan dinilai. Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak, juga terjadi saat seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintahan lebih baik. Konsep pemasaran politik merupakan kegiatan memasyarakatkan ideologi politik, tokoh politik, perjuangan politik telah lama dipraktikkan di negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat.
Melalui logika pemasaran politik, kedekatan parpol dengan konstituen dan massa mengambang tetap terjaga setiap saat. Tercipta pendidikan politik masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek politik, bukan obyek politik sebagaimana disikapi pada saat kampanye Pemilu saja. Logika pemasaran politik menghindari keterputusan hubungan Parpol dan masyarakat konstituen.
Pendekatan pemasaran politik menggunakan teori-teori mengenai perilaku konsumen. Pendekatan ini digunakan karena saat menggunakan hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap parpol tertentu sama seperti perilaku konsumen mempertukarkan uang untuk membeli barang/jasa tertentu.
Pendekatan pemasaran politik memperkirakan, individu berperilaku berdasarkan keingingan untuk terikat dengan perilaku tersebut dan faktor apa saja mempengaruhi keinginan untuk memilih parpol. Penerapan pendekatan pemasaran memungkinkan parpol mengetahui apa secara siginifikan mempengaruhi keinginan untuk memilih parpol dan memasarkan parpol secara tepat demi mendapatkan suara pemilih.
Pendekatan pemasaran politik juga percaya, keinginan untuk memlih parpol signifikan dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap parpol dan norma subyektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap parpol signifikan karena orang mengidentifikasikan diri terhadap parpol, bukan terhadap pemimpin.
Bagi pendukung parpol, pendekatan pemasaran politik, ada sejumlah alasan mengapa penting menggunakan pemasaran politik bagi parpol. Pertama, politisi parpol percaya telah terjadi pergeseran paradigm pemilih dari paradigma ideologis menjadi paradigma pragmatis. Masyarakat cenderung melihat program kerja ditawarkan oleh parpol dibandingkan dengan alasan ideologis.
Hal ini terlihat dari fenomena semakin membesarnya persentase pemilih non-partisan dan juga masa mengambang. Pemilih non-partisan yakni kelompok pemilih tidak menjadi anggota atau mengikat diri secara ideologis dengan parpol tertentu. Di samping itu, adanya persaingan politik dan sistem multipartai dianut serta semakin kritis masyarakat dalam memilih parpol.
Parpol dituntut menjadi lebih kreatif dalam menganalisis permasalahan negara dan rakyat. Parpol paling bagus menyusun program kerja mempunyai peluang lebih besar memenangkan perolehan suara pemilih dalam Pemilu. Agar menganalisis permasalahan dan menyusun program kerja bagus, maka dilakukan polling dan berbagai kegiatan riset lain. Riset merupakan kebutuhan sangat penting untuk pemetaaan permasalahan, segmentasi pemilih dan pemetaan program kerja. Riset kuat dalam hal menyangkut aspirasi masyarakat. Kemampuan mengidentifikasikan permasalahan daerah untuk diketengahkan sebagai permasalahan kampanye di daerah tertentu. Hal itu cukup memungkinkan untuk parpol sebagai modal menumbuhkan citra sebagai organisasi politik peduli pada kebutuhan aktual di daerah.
Mislanya, apa yang dilakukan sosok calon presiden yang diusung PBB secara resmi, yakni Yusril Ihza Mahendra. Ia mendatangi Malang, untuk bertemu dengan ribuan buruh di sebuah pabrik rokok di Kepanjen, Kabupaten Malang. Seperti dikutip Liputan6.com, Yusril siap membela buruh jika dirinya terpilih menjadi Presiden pada 2014 mendatang. Gerakan Yusril adalah contoh gerakan pencitraan dan upaya mencari dukungan untuk dirinya dan partainya. Karena berdasarkan keputusan Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra telah ditetapkan sebagai calon presiden (capres). “Pemilu 2014 mendatang, akan menjadi kesempatan terakhir bagi saya,” kata Yusril.
Sementara, di Indonesia pemasaran politik, mulai dikenal tetapi belum meluas dalam ranah politik maupun kajian akademis. Kegiatan politik parpol disadari atau tidak parpol telah melakukan serangkaian kegatan ini sebagai missal pengumpulan massa (temu kader, tabligh akbar dan deklarasi), pawai di jalan-jalan, liputan media cetak (TV, Koran, Majalah, Radio, dll) atas kegiatan parpol sampai ke kunjungan wakil-wakil parpol ke komunitas konstituen maupun komunitas tertentu telah biasa dilakukan.
Intenstitas interaksi Parpol dan masyarakat sering hanya terjadi pada waktu menjelang Pemilu melalui pelaksanaan kampanye. Pada masa ini, parpol berlomba-lomba menawarkan produk politik berupa ideologi, gagasan, kebijakan dan rekan jejak. Masyarakat dijadikan seperti “pasar sesaat” atau “pasar kaget” untuk mendengar, melihat dan memilih produk mereka.
Di luar “pasar sesaat” ini, komunikasi politik parpol dengan masyarakat terputus. Akibatnya, Parpol tidak menjalankan fungsi pendidikan politik bagi masyarakat dan pada gilirannya kehilangan daya kritis untuk mengontrol parpol dan pemerintahan. Karena itu, parpol menggunakan pendekatan pemasaran politik hanya pada kampanye Pemilu semata. Padahal pendekatan pemasaran politik sendiri sesungguhnya menekankan pentingnya kinerja sebuah parpol selain kegiatan pemasaran atau pencitraan.
Setelah masa Pemilu berakhir, Parpol harus dapat memenuhi janji-janji atau produk politik sudah ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih.Pemilih atau masyarakat harus memperoleh kepuasan. Baik teori pencitraan dalam komunikasi politik maupun pendekatan pemasaran politik percaya, ada hubungan erat antara citra parpol dan perilaku pemilih.
Penciptaan dan pembentukan pencitraan positif parpol digarap dan dikelola sedemikian rupa baik sepanjang maupun pasca kampanye. Untuk menciptakan pengetahuan dan persepsi masyarakat. Hal ini diperlukan komunikasi politik. Dalam perkembangannya, teori pencitraan mendorong parpol untuk melakukan komunikasi politik melalui media massa.
Mengapa? Karena luas jangkauan jauh lebih luas ketimbang sarana-sarana komunikasi politik lain. Pesan dan informasi politik parpol lebih mudah menjangkau rumah-rumah pemilih dalam Pemilu melalui media massa ini ketimbang melalui komunikasi interpersonal dengan kader-kader Parpol pada strata masyarakat bawah umumnya di daerah perdesaan (rural areas).
Penggunaan media massa sangat penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik dalam Pemilu. Karena, dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi sentral dalam politik. Karenanya, media massa merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk kepentingan menyebarluaskan informasi, menjadi forum diskusi publik dan mengartikulasikan tuntutan masyarakat beragam.
Mengutip apa yang ditulis Adman Nursal (2004), dalam bukunya berjudul “Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR,DPD”. Bahwa berdasarkan catatan Wring (1996) aktivitas marketing-politik telah digunakan sejak Pemilu di Inggris pada tahun 1929. Ketika itu, Partai Konservatif menggunakan agen biro iklan (Holford-Bottomley Advertising Service) dalam membantu mendesain dan mendistribusikan poster.
Di Indonesia, sebenarnya marketing politik sudah lama berjalan di Indonesia, seperti di yang dilakukan pada zaman orde baru dulu, yang sudah banyak spanduk-spanduk berisi tentang ajakan bergabung untuk mengikuti tabligh akbar atau musyawarah daerah, yang diadakan partai politik produk orde baru.
Adapun tujuan ataupun misi terakhir yang akan dicapai political marketing adalah starategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih.  Serangkaian makna politis akan menjadi orientasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna politis inilah yang kemudian menjadi output penting political marketing yang menentukan, pihak yang mana yang akan dicoblos oleh pemilih.
Menurut Adman Nursal ada  sembilan elemen yang terpenting dalam polical marketing yang tidak boleh dilepaskan harus fokus dengan sembilan elemen tersebut. yakni positioning, targeting, policy, person, party, presentation, push marketing, pull marketing, pass marketing, dan polling.
Pertama, Positioning bergandengan dengan targeting. Yakni, tindakan untuk manancapkan citra tertentu kedalam benak para pemilih agar tawaran produk politik dari suatu kontestan yang memiliki posisi khas, yang jelas mencari jendela di dalam otak pemilih. Misalnya, dalam marketing politik adalah bagaimana Partai Bulan Bintang (PBB) menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa PBB adalah partai Islam yang lebih unggul dibandingkan dengan partai yang lain. Artinya membangun image dan citra di dalam otak para pemilih atau konstituen.
Dalam disiplin marketing, “menempatkan” seorang kandidat atau sebuah partai dalam pikiran para pemilih disebut positioning. Atau positioning sering kali juga diartikan tindakan untuk manancapkan citra tertentu kedalam benak para pemilih agar tawaran produk politik dari suatu kontestan  yang memiliki posisi khas, yang jelas mencari jendela di dalam otak pemilih.
Positioning yang efektif akan menunjukkan perbedaan nyata dan keunggulan sebuah kontestan di banding kan dengan kontestan pesaing: bahwa pesaing tidak dapat mewujudkan tawaran-tawaran tertentu sebaik pihak yang mancanangkan positioning tersebut.
Positioning dan targeting sebagai penetapan segmen pasar yang akan di raih. Semua aktifitas untuk menanamkan kesan di benak para konsumen agar mereka bisa membedakan produk dan jasa dihasilkan oleh organisasi bersangkutan.
Kedua, adalah Policy yang berhubungan dengan “program kerja” yang ditawarkan para konstestan ketika terpilih kelak, menawarkan solusi terhadap permasalahan kebangsaan, memunculkan isu-isu yang diangap penting dan dapat diterima oleh konstituen, program kerja yang dapat diterima, yang menarik, mudah terserap oleh para pemilih.
Di banyak benner atau baliho yang disebar PBB, memunculkan slogan “Selalu ada Solusi” dan selalu terdapat foto soso Yusril Ihza Mahendra, sosok paling diandalkan dan memiliki pemikiran mampu memberikan solusi jika ada persoalan yang dihadapi masyarakat. Terutama soal pembelaan hukum.
Secara ideal, policy yang dijabarkan dalam program kerja yang merupakan “jualan” utama kontestan pemilu. Pandangan ideal inilah agaknya yang menyebabkan sebagian politisi mengandalkan keunggulan policy dalam kampanye-kampanye tertentu. Tetapi sayangnya, keunggulan policy saja ternyata tidak sepenuhnya mampu mendongkrak perolehan suara. Sejumlah politisi dari beberapa Partai peserta pemilu 1998 dengan tawaran policy yang canggih, dan sebenarnya merupakan solusi dari masalah kebangsaan gagal memperoleh kursi. Termasuk yang terjadi pada Partai Bulan Bintang.
Elemen ketiga adalah Person. Kandidat legislatif atau eksekutif yang akan dipilih dalam pemilu, kualitas person dapat dilihat melalui tiga dimensi yaitu kualitas instrumental, dimensi simbiolis,  dan fenotipe optis, ketiga dimensi ini dikelola agar atributable. Secara umum dalam political marketing, kualitas dari seorang figur dapat dilihat dari tiga dimensi: kualitas instrumental, faktor simbolis, dan fenotipe optis. (Firmanzah, 2007:159).
Kualitas instrumental adalah kompetensi fungsional. Kompetensi manajerial berkaitan dengan kemampuan menyusun rencana, pengorganisasian, pengendalian, dan pemecahan masalah untuk mencapai sasaran obyektif. Sementara kompetensi fungsional adalah keahlian dalam bidang-bidang tertentu yang diangap penting dalam menjalankan tugas teknologi dan sebagainya. Kualitas instrumental merupakan sebuah keahlian dasar yang dimiliki kandidat agar sukses menjalankan tugasnya.
Keempat, adalah Party. Produk politik partai, yang mempunyai identitas utama, aset reputasi, dan identitas estites, ketiga hal tersebut akan dipertimbangkan oleh para pemilih dalam menetapkan pilihanya. Dari perspektif manajemen operasional, party merupakan sebuah mesin politik dengan aneka kegiatan politik, tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperoleh kekuasaan atau ikut mengendalikan kekuasaan.
Untuk memperoleh dan mengadalikan kekuasaan, Partai berusaha berebut simpati para pemilih dengan menawarkan policy dan person yang diharapkan sesuai dengan aspirasi pemilih. Dengan demikian Partai juga dapat disebut sebagai organisasi yang menghasilkan produk- produk politik.  (Harris P, 2008: 209). PBB, ada sosok Yusril dan ia tergolong bersih dari perilaku korup. Sosok tegas dan memiliki kemampuan kenegaraan yang cukup luar bisa. Sosok Yusril yang bisa “dijual” oleh PBB.
Elemen kelima adalah Presentation. Bagaimana membungkus dengan baik ketiga elemen diatas (produk, person, party) ini disajikan dengan bungkusan semenarik mungkin, presentasi sangat penting karena dapat mempengaruhi makna politis yang membentuk dalam pemikiran para pemilih. Presentation disajikan dengan medium presentasi secara umum dapat di kelompokkan menjadi objek fisik, orang dan event.
Elemen keenam; push markekting adalah penyampain produk politik secara langsung kepada para pemilih, produk politik disampaikan kepada pasar politik yang meliputi media massa dan influencer group sebagai pasar perantara, dan para pemilih sebagai pasar tujuan akhir. Pendekatan push marketing pada dasarnya adalah usaha agar produk politik dapat menyentuh para pemilih secara langsung atau dengan cara yang lebih customized (personal).
Selanjutnya adalah elemen ketujuh: Pull markting adalah penyampaian produk politik yang dimanfaatkan atau disampaikan melalui media massa. Seperti memasang iklan dan sejenisnya di banyak media cetak dan elektronik, radio serta media online.
Elemen kedelapan; pass marketing adalah penyampaian produk politik kepada kelompok yang berpengaruh (influencer group). PBB terlihat sudah mengajak para tokok sentral di beberapa daerah dan bahkan menjadikan sosok tersebut sebagai calon legislatif. Baik dilevel kabupaten/kota, provinsi hingga pusat.
Elemen kesembilan dari marketing politik adalah Polling dan survai adalah penting dijalankan dalam strategi marketing politik tujuannya adalah untuk melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, supaya kita tahu sampai dimana iklan kita di terima oleh para pemilih, apa yang harus disampaikan, dan apa yang harus diubah dan apa yang harus diteruskan. Polling, riset, survei tidak bisa di pungkiri sangat penting dalam proses marketing politik.
Secara lebih spesifik dan terkait dengan produk politik dalam marketing politik yaitu: kandidat, partai, dan kebijakan, dibutuhkan sinergi strategi yang optimal, penggunaannya dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan produk politiknya. Dalam produk kandidat yang diusung PBB misalnya, strategi push dibutuhkan untuk memperkecil jarak antara kandidat dengan calon pemilih; strategi pull digunakan untuk membentuk kesadaran dan pengenalan publik terhadap kandidat sekaligus program-program yang diajukannya. Sementara strategi pass digunakan untuk memperoleh dukungan dari tokoh masyarakat untuk mobilisasi massa.
Dari bberapa ulasan diatas, terkait upaya yang dilakukan PBB, dalam membangun citra partai dilihat dari marketing politik yang dilakukan, banyak melakukan yang berdampak pada penilaian sosial, yang hal itu dipengaruhi bagaimana seorang individu memahami pesan yang ditangkap oleh inderanya dan akhirnya membentuk perilaku.
Produk yang dipasarka oleh PBB, adalah penyebaran pesan dalam berbagai cara pendekatan untuk mencari dan memperoleh dukungan politik. Hal itu bisa dilihat dari upayanya, pertama, dalam hal Push Marketing, dimana kandidat atau partai politik berusaha mendapatkan dukungan melalui stimulan yang diberikan secara langsung kepada pemilih. Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden yang diusung PBB, sudah mulai turun mendekati rakyat ke berbagai daerah di Indonesia.
Sudah melakukan Pass Marketing. Yakni, memasarkan produk politik melalui orang atau kelompok berpengaruh yang mampu mempengaruhi opini pemilih. Yusril mendatangi banyak tokoh berpengaruh seperti kiai dan mengisi acara di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Menjebarkan konsepnya jika terpilih jadi presiden nantinya.
Selanjutnya adalah melakukan Pull Marketing. Dimana pemasaran produk politik melalui media massa yang menitikberatkan pada image atau citra produk politik tersebut. Menyebarkan benner dimana-mana bersama para calon legislatif yang diusungnya dan banyak memasang iklan di banyak media. Baik cetak maupun elektronik. Hal itu yang dilakukan oleh Partai Bulan Bintang, jelang pemilu 2014 mendatang.(*)

Daftar Pustaka

Harahap, Effendi Muchtar. (2013). Politik Kepartaian Era Reformasi: Peran Ideologi, Koalisi dan Dana Ilegal. Jakarta. NSEAS & IEPSH in Processing.
Nursal Adman. (2004). Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR,DPD. Jakarta: PT Gramedia.
http://news.liputan6.com/read/764674/diusung-pbb-sebagai-capres-yusril-ini-kesempatan-terakhir
http://news.liputan6.com/read/764580/jadi-capres-pbb-yusril-langsung-serang-jokowi/?related=pbr&channel=n
http://news.liputan6.com/read/754203/pbb-yusril-ihza-jadi-capres-jika-lolos-ambang-batas-pileg-2014
http://sejarah-singkat-partai-bulan-bintang.