Senin, 09 Februari 2015

Restorasi Hari Pers Nasional




Yatimul Ainun*
 

BULAN Februari, bagi sebagian kaum jurnalis atau wartawan, dinilai bulan yang "istimewa". Karena pada bulan tersebut, tepatnya 9 Februari, dinilai sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Pada peringatan puncak HPN 2015, secara nasional diperingati hari ini, Senin (9/2/2015), di Batam, Kepulaua Riau.

Dalam acara tersebut, dilakukan peluncuran dan sekaligus penyerahan 26 buku karya para jurnalis kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagian "buruh tinta" itu memperingati Hari Pers Nasional pada 9 Februari, karena berdasar pada Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.

Lahirnya Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 tersebut, berdasarkan usulan dari hasil Sidang ke-21 Dewan Pers di Bandung, Jawa Barat, pada 19 Februari 1981 silam. Usulan Dewan Pers tersebut sebagai tindaklanjut dari cetusan kehendak "masyarakat pers Indonesia" yang tercantum dalam satu butir keputusan Kongres ke-28 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1978.

Setelah mendapat pengakuan dari pemerintah, khusunya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), selaku salah satu organisasi profesi yang dimiliki wartawan, mulai merangkul semua komponen pers untuk ikut ambil bagian dalam peringatan HPN. PWI menilai, bahwa HPN adalah milik semua komponen pers dan masyarakat luas, mengingat pers adalah merupakan pilar keempat dalam kehidupan demokrasi di luar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

PWI menilai, komponen pers bukan hanya kalangan wartawan atau jurnalis sebagai pilar utamanya, melainkan juga pihak terkait, seperti perusahaan penerbitan pers, periklanan, perhumasan, dan semua pihak yang peduli terhadap eksistensi pers yang merdeka, independen, profesional dan beretika.

Namun, sejak puluhan tahun silam, keberadaan HPN mulai menuai kritik dan dipersoalkan oleh dikalangan internal jurnalis, praktisi media dan para sejarawan. Mengapa? Karena penetapan 9 Februari, dinilai bukan lahirnya sejaah pers nasional. Namun,  di tanggal 9 Februari itu hanyalah hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Perdebatan dan kontroversi peringatan HPN dikalangan awak media, terus muncul hingga kini. Para wartawan atau jurnalis yang tergabung di Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Ikatan Jurnalis Independen (AJI) terus mempertanyakan HPN. Dua organisasi profesi jurnalis tersebut mendesak kepada pemerintah untuk merumuskan kembali kapan lahirnya sejarah pers nasional dan pemerintah juga diminta untuk menentukan kriteria pers nasional tertua di nusantara.

Dari pelacakan dan catatan sejarah, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan jauh sebelum PWI, sudah lahir organisasi wartawan di masa perjuangan melawan kolonialisme, yaitu Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang dipelopori oleh Marco Kartodikromo pada tahun 1914. selanjutnya pada tahun 1925 juga lahir organisasi wartawan bernama Sarekat Journalists Asia, Perkumpulan Kaoem Journalists pada tahun 1931, dan Persatoean Djurnalis Indonesia pada tahun 1940. sementara, organisasi PWI sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946.

Hari lahir PWI naik kasta menjadi hari pers, yang diperingati secara nasional oleh sebagian wartawan karena peran dari Harmoko yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia. Pada tahun 1985, Harmoko berhasil "merayu" Presiden Soeharto untuk menetapkan Hari Pers Nasional jatuh pada 9 Februari 1985.

Saat rezim orde baru berkuasa, media yang ada di Indonesia tak lagi menemukan kemerdekaan, pemerintah juga banyak melakukan pembredelan media yang dinilai melawan dan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. para jurnalis banyak yang dibunuh karena bersikap kritis.

Saat itulah, sekumpulan jurnalis mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi nama Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI mulai pecah, menjadi dua dengan lahirnya PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Lahirnya HPN yang merujuk pada hari lahir PWI tak hanya dipertanyakan para jurnalis yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Namun, lahirnya HPN dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di Indonesia juga dipertanyakan oleh para sejarawan Indonesia.

Misalnya, Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI mengungkapkan bahwa terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum Indoensia merdeka, baik sesudah tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers nasional. Menurutnya, jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah lahir pers perjuangan yang dikendalikan oleh orang-orang pribumi.

Selanjutnya, juga diungkap oleh Taufik Rahzen, seorang peneliti sejarah pers nasional yang hasilnya sudah diterbitkan dalam buku berjudul "100 Tahun Pers Nasional" yang diterbitkan saat peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional pada tahun 2008 silam. Taufik Rahzen mengusulkan agar tanggal penerbitan pertama Medan Prijaji, koran pribumi pertama yang dinahkodai oleh Tirto Adhi Suryo, sebagai tonggak sejarah Hari Pers Nasional, yakni 1 Januari 1907.

Sejarah mencatat, bahwa Medan Prijaji adalah koran pertama yang seluruh awaknya adalah warga pribumi dan koran tersebut diterbitkan dalam bahasa Melayu. Tirto Adhi Surjo dianggap meletakkan dasar organisasi pers yang modern. Memang sebelum Medan Prijaji terbit, sudah ada pers yang terbit di Hindia Belanda, seperti Bataviasche Nouvelles. Inilah koran yang terbit di Batavia pada tahun 1744-1746.

Namun, kontroversi tersebut tak berhenti dengan penelitian tentang sejarah lahirnya Medan Prijaji sebagai pers nasional pertama. Banyak sejarawan juga menyebut bahwa jauh sebelum Medan Prijaji lahir, pada tahun 1900 sudah ada koran berbahasa Melayu di Sumatera dengan nama Pewarta Wolanda. Pendirinya adalah Abdul Rivai, yang pada tahun 1902 juga menerbitkan koran berhasa Melayu, yang diberi nama Bintang Hindia.

Seorang Dosen di Universiteit Leiden, Belanda, Suryadi, dalam kolomnya yang dimuat di Harian Padang Ekspres, 6 Oktober 2007 lalu, menyebut bahwa terlalu berlebihan menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional. Mengapa? Karena dari hasil penelitian yang ditemukan Suryadi, bahwa masih ada media yang lahir sebelum Medan Prijaji, antara lain: Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe, (Semarang, 1860), Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863), Bintang Timor (Padang, 1865), Bintang Djohar (Betawi, 1873), Mata Hari (Makassar, 1883), Pelita Ketjil (Padang, 1886), Insulinde (Padang, 1901). Bahkan, juga Bintang Utara (Rotterdam, 1856) dan Bintang Hindia (Amsterdam, 1903) adalah sedikit contoh dari puluhan surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang terbit sebelum Medan Prijaji lahir ke dunia.

Melihat catatan sejarah tersebut diatas, sudah saatnya pemerintah Indonesia, yang kini di "komando" oleh Presiden Joko Widodo, untuk merestorasi sejarah hari pers nasional yang nantinya akan menjadi dasar penetapan Hari Pers Nasional (HPN). Pemerintah sudah saatnya untuk menentukan kriteria pers nasional. Misalnya, kriteria itu media nasional adalah media atau koran yang berbahasa Indonesia (Melayu), dikelola pribumi, berkontribusi pada pembangunan nasionalisme.

Setelah merumuskan kriteria tersebut, semua pihak, mulai dari pemerintah, seluruh wartawan atau jurnalis, baik yang tergabung dalam PWI, IJTI dan AJI serta organisasi profesi jurnalis lainnya, yang belum terdaftar di Dewan Pers menentukan kapan Hari Pers Nasional (HPN) itu.

Penyelesaian kontroversi penetapan HPN tersebut jelas menjadi tugas jurnalis, pegiat pers dan sejarawan untuk merumuskan hari lahir pers nasional. Hal tersebut jelas bukan hal yang mudah. Karena sejarah lahir dari pergulatan pada zamannya. Beberapa pers di masa kolonial tak berani berdiri tanpa keterlibatan pemerintah Hindia Belanda, karena itulah taktik yang tersedia.

Demikian pula pilihan bahasa yang tak seratus persen berbahasa melayu juga salah satu bagian dari strategi media saat rakyat Indonesia berjuang merebut kemerdekaan. Sejarah hari ini adalah akumulasi sejarah pada tahun-tahun sebelumnya. Sejarah bukan senyawa yang berdiri sendiri, namun terpisah dari peristiwa sebelumnya. Sejarah adalah dialektika kehidupan itu sendiri.

Restorasi HPN menjadi hal yang penting dilakukan oleh pemerintah dan para jurnalis khususnya, untuk menguak nilai sejarah yang nantinya akan menjadi kekuatan semangat bagi "pejuang" penegak pilar ke empat demokrasi yakni peran media. saatnya para "buruh tinta" berkumpul bersatu, duduk bersama untuk meluruskan sejarah pers nasional.

Selain itu, para jurnalis juga diharapkan mampu menegakkan tujuan dari jurnalisme yang mampu menyediakan informasi yang diperlukan masyarakat dengan mengusung prinsip kebenaran, disiplin verifikasi, menjaga independensi terhadap sumber berita, harus menjadi pemantau kekuasaan, menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku berjudul "Sembilan Elemen Jurnalisme" menulisnya, ada sembilan tugas jurnalis dan juga media dalam menulis berita. Selain kewajiban pertama jurnalis  adalah berpihak pada kebenaran, juga berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan. Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional serta para praktisi jurnalisme harus diperbolehan mengikuti hati nuraninya.

*Penulis adalah jurnalis KOMPAS.com dan Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) Malang