BERITA duka
berhembus dari tanah haram Mekah. KH Sofyan Miftahul Arifin, Rais Syuriah PCNU
Situbondo dan Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah itu menghembuskan nafas
terakhirnya (Kamis, 4 April 2012) ketika sedang menjalankan ibadah umrah.
Ia sebenarnya
sudah cukup sepuh untuk terbang beribu-ribu mil dari kediamannya di Situbondo
menuju Mekah-Madinah. Umurnya diperkirakan sudah menyentuh angka 97 tahun
(1915-2012). Namun, tubuhnya yang sudah uzur itu tak mematahkan semangat Kiai
Sofyan untuk melaksanakan ritual tahunannya, umrah.
Ia seperti tak
pernah lelah untuk menimba air kearifan (nur faidh) dari tanah
suci. Kiai Sofyan selalu ingin berada dekat dengan Nabi bukan hanya secara
ruhani tapi juga jasmani. Saya kerap mendengar cerita dari Kakek dan Abah saya
tentang keinginan Kiai Sofyan untuk meninggal dunia di Mekah atau Madinah.
Keinginan itu kini tunai sudah. Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un.
Kiai Sofyan tak
hanya kesohor sebagai kiai yang mengasuh pesantren. Ia dikenal sebagai ulama
yang memiliki penguasaan yang dalam terhadap ilmu-ilmu keislaman terutama fikih
dan tasawwuf. Seluruh hidupnya dicurahkan untuk membangun moral masyarakat
dengan berlandas tumpu terutama kepada kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam
al-Ghazali.
Ia tak hanya
mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din di pesantren, melainkan juga langsung ke
tengah masyarakat. Saya kerap mengikuti pengajian bulanan kitab Ihya’ Ulum al-Din yang dipandu Kiai Sofyan itu yang tempatnya
berpindah dari satu rumah ke rumah lain di Situbondo. Biasanya, salah seorang
ustadz diminta untuk membaca teks kitab lalu Kiai Sofyan yang menjelaskan
pengertiannya.
Yang mengaji
kepada Kiai Sofyan tak hanya masyarakat bawah, melainkan juga para kiai
terutama yang berada di Situbondo dan Bondowoso. Bahkan, dua putra Kiai As’ad
Syamsul Arifin, yaitu (Alm.) Kiai Fawaid As’ad (Pengasuh PP Sukorejo) dan Kiai
Kholil As’ad (Pengasuh PP Walisongo), pernah mengaji sejumlah kitab kepada Kiai
Sofyan. Tak sebagaimana Kiai Kholil yang dimondokkan ke Mekah oleh ayahandanya
untuk meningkatkan pengetahuan agama, maka Kiai As’ad “menyerahkan” Kiai Fawaid
kepada Kiai Sofyan untuk memperdalam pengetahuan kitab kuningnya.
Saya pernah
ikut mendengarkan Kiai Sofyan membacakan kitab Jawahirul Maknun terhadap Kiai Fawaid. Ketika mengaji kepada
Kiai Sofyan, biasanya Kiai Fawaid didampingi teman-teman terdekatnya.
Itu sebabnya,
kepergian Kiai Sofyan tak hanya ditangisi oleh para santrinya secara terbatas
di PP Manbaul Hikam Panji Situbondo, PP Sumberbunga Seletreng Kapongan
Situbondo, melainkan juga oleh masyarakat dan para kiai. Hasil pengamatan saya
beberapa tahun, Kiai Sofyan memang mendapatkan kedudukan khusus di tengah
masyarakat. Tak hanya masyarakat Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi melainkan
juga Bali dan Madura.
Kiai Sofyan, Orang Besar
Setelah Kiai
Sofyan wafat, tak sedikit orang bertanya; kenapa Kiai Sofyan begitu besar.
Menurut saya, ada empat hal yang membuat kiai Sofyan besar. Pertama, ia adalah seorang murysid tarekat yang
aktif “menjamah” para muridnya yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur
dan Bali. Kiai Sofyan mengunjungi dan memberi bimbingan spiritual terhadap para
muridnya hingga ke daerah-daerah pedalaman Jawa Timur. Tak hanya mendatangi,
Kiai Sofyan juga tak henti dikunjungi para muridnya. Rumahnya tak pernah sepi dari
tamu.
Dan Kiai Sofyan
selalu melayani para tamu yang datang secara sama, tanpa membedakan kelas
sosial seseorang. Yang datang kepada Kiai Sofyan mulai dari rakyat jelata
hingga para penguasa, dari yang alit hingga yang
elit. Ia menemui dan melayani tamu pada satu tempat; tak ada ruang khusus kelas
petinggi dan ruang tersendiri untuk orang awam.
Kelas-kelas
sosial yang biasanya saling menjauh, di kediaman Kiai Sofyan bisa duduk
sejajar. Pelayanan terhadap tamu demikian sempurna bahkan Kiai Sofyan sebagai
tuan rumah tak pernah lupa menghidangkan makanan.
Melihat jadual
acara-agenda hariannya yang padat, mungkin Kiai Sofyan tak memiliki banyak
waktu untuk bersantai. Waktu tidur-istirahatnya sangat kurang. Dalam sehari, ia
mampu menghadiri lima undangan, mulai dari undangan walimah, menikahkan orang,
memimpin doa, hingga peletakan batu pertama pembangunan mesjid dan pesantren.
Sejauh tak
berbenturan dengan acara di tempat lain, Kiai Sofyan menyanggupi kehadirannya.
Tanpa seorang sekretaris di sampingnya, seluruh jadual acara itu diatur sendiri
oleh Kiai Sofyan. Ia biasanya mencatat jadual acara itu di kalender kecil yang
selalu diletakkan di sebelahnya ketika menerima tamu.
Saya kadang
bergumam dalam hati, dari mana energi kekuatan itu diperoleh Kiai Sofyan.
Inikah yang disebut sebagai quwwah rabbaniyah (limpaham
kekuatan ketuhanan). Lalu saya teringat Rasulullah SAW yang dalam usia 62 tahun
masih sanggup mengadakan perjalanan darat dari Madinah ke Tabuk yang saat itu
jaraknya diperkirakan 1100 km.
Kedua, Kiai Sofyan bukan sufi yang duduk di ruangan sepi, menjauh dari
gemuruh kehidupan. Di samping mengasuh para murid tarekatnya dan mengedukasi
para santrinya di pesantren, Kiai Sofyan terlibat dalam proses perubahan
sosial. Ia kerap datang untuk memecahkan persoalan sosial bahkan personal yang
menimpa umat. Ia pun aktif berorganisasi. Ia berjuang melalui Nahdhatul Ulama
(NU), sejak usia muda. Bertahun-tahun Kiai Sofyan memimpin NU dalam fase
tersulit ketika NU didiskriminasi bahkan "dipersekusi" rezim Orde
Baru.
Ia menggerakkan
NU tanpa pamrih. Kepentingan pribadi disingkirkan dan kepentingan NU lebih
didahulukan. Sebagai Rais Syuriah NU, Kiai Sofyan terlibat dalam mendinamisasi
kegiatan intelektual NU seperti acara bahtsul masail yang rutin diselenggarakan
setiap sebulan sekali. Bahtsul Masa’il adalah ruang intelektual tempat para
kiai NU memecahkan masalah-masalah sosial dari perspektif fikih Islam. Kiai
Sofyan memberi pengaruh cukup besar terhadap produk-produk pemikiran keislaman
NU Situbondo.
Ketiga, Kiai Sofyan adalah ulama dan kiai
yang bisa menyatukan ilmu dan amal. Ilmu tasawuf Kiai Sofyan tak hanya mengalir
di kerongkongan melainkan juga mewujud dalam tindakan. Ketika Kiai Sofyan
menjelaskan tentang pentingnya hidup zuhud dan sederhana, ia sekaligus telah
menjadi contohnya. Arsitektur rumahnya tak mempesona, mobil pribadinya biasa.
Tak ada aksesoris dan perabotan mahal di dalam rumahnya. Ketika ia menjelaskan tentang
pentingnya penghargaan (takrim) terhadap
manusia, Kiai Sofyan telah lama menjalankannya. Ketika menerima tamu misalnya,
Kiai Sofyan tak duduk di kursi gotik yang melambangkan grandeur para raja dulu.
Ia duduk
bersila di atas karpet-hambal lusuh seperti alas duduk para tamunya. Ketika
menjelaskan tentang dzikir, Kiai Sofyan sendiri adalah ahli dzikir. Ia
menghindari perkara-perkara syuhbat apalagi yang
haram. Dengan amalan ini wajar sekiranya Kiai Sofyan memiliki wibawa moral di
tengah masyarakat.
Keempat, Kiai Sofyan adalah orang besar
yang membesarkan. Tak sedikit para santri yang--meminjam istilah Ignas
Kleden—“paria secara sosial” dinaikkan kedudukannya sebagai tokoh masyarakat
oleh Kiai Sofyan. Secara intensif, Kiai Sofyan memperkenalkan “santri paria”
tersebut ke tengah masyarakat. Ketika ada acara-acara besar--seperti acara
Maulid Nabi, Isra’-Mi’raj, Halal-Bihalal--tak jarang Kiai Sofyan meminta para
santri itu untuk berceramah.
Saya melihat
ada banyak alumni pesantren yang dahulu ditokohkan Kiai Sofyan kini sudah
memangku pesantren. Bahkan, sebagian dari pesantren mereka itu lebih besar dari
pesantren yang dikelola Kiai Sofyan sendiri. Ini adalah bukti bahwa Kiai Sofyan
bukanlah pohon trembesi (Albizia saman) yang
rindang menaungi tapi sekaligus mematikan seluruh tumbuh-tumbuhan yang ada
dibawahnya. Kiai Sofyan adalah pohon besar yang nyaman sebagai tempat berteduh
sekaligus kondusif bagi tumbuh-kembang para santri dan para kiai muda di
bawahnya.
Penutup
Begitulah.
Kiai Sofyan adalah tokoh-ulama yang kian langka di negeri ini. Ia telah
mempersembahkan hidupnya untuk umat. Tidak hanya karena ia mengasuh dua
pesantren, melainkan juga karena ia turun langsung ke masyarakat. Keteguhannya
memegang komitmen dan pengabdiannya yang tanpa pamrih adalah akhlak terpuji
yang harus diteladani generasi muda muslim.
Dari jauh saya
berdoa, semogasunnah hasanah yang telah
diwariskan Kiai Sofyan tak terbuang melainkan justeru dilanjutkan oleh para
kiai muda berikutnya. Semoga narasi tentang kehidupan Kiai Sofyan tak berhenti
hanya menjadi folklor yang hidup dalam memori kolektif suatu masyarakat lalu
gagal membentuk peradaban terbaik umat. [MG]
allah hu akbar.....
BalasHapusaku bangga menjadi muridmu sang guru....,,,,,," SYECH KHA SUFYAN MIFTAHUL ARIFIN r.a"